RIBATH NURUL HIDAYAH

RESENSI

Rabu, 04 November 2009

Kitab Klasik

Serpihan Pemikiran Sang Wali
Senin, 18 Agustus 2008


Al-Ghuniyyah bi Thâlibiy Tharîq al-Haq
Dunia tasawuf tak bisa dilepaskan dengan nama salah seorang tokohnya, yaitu Syeikh Abd al-Qâdir al-Jîlani yang lahir tahun 470 H dan meninggal 561 H, dan dimakankan di kota Baghdad. Konon katanya, ketika siang di bulan Ramadhan si kecil Abd al-Qâdir tak mau menyusu pada ibunya.
Setelah dewasa, ia mampu menguasai fikih Syafi’i dan Hambali, sehingga ia menjadi rujukan atau tempat bertanya tentang persoalan fikih kedua madzhab tersebut. Di samping ahli dalam bidang fikih, ia juga kenal sebagai seorang wali. Dengan demikian ia telah sukses baik dalam karir intelektual maupun kewalian.

Dalam dunia kewalian, Abd al-Qâdir disemati gelar sulthân al-awliyâ` atau pemimpin para wali. Inilah gelar tertinggi wali. Dalam dunia kewalian, para wali telah menciptakan lima struktur atau level yang berbentuk seperti piramid. Yaitu, qutb, nuqabâ`, awtâd, abdâl, dan akhyâr. Qutb diisi satu wali, sedang nuqabâ` tiga wali, awtâd tujuh wali, abdâl empat puluh wali, dan akhyâr tiga ratus wali. Sedang Abd al-Qâdir telah mencapai puncak kewalian, yaitu berada pada level qutb.

Dalam perjalanannya, karier kewalian inilah yang lebih dikenal, sehingga kemudian sosok Syeikh Abd al-Qâdir lebih kita kenal sebagai seorang wali dengan segala karomah yangmelekat padanya. Bukan dimensi pemikirannya dalam bidang tasawuf. Padahal dari tangannya hadir banyak karya di antaranya ialah sebuah buku yang beri judul al-Ghuniyyah. Buku ini terdiri dari dua jilid dan berisi tentang etika terapan Islam, teologi, nasehat beberapa ayat Al-Quran dan hadits nabi, serta perilaku orang-orang saleh.

Sang Wali mengakui bahwa buku ini ditulis untuk memenuhi permintaan dan desakan sebagian teman-temannya. Ia melihat bahwa permintaan mereka sangat tulus, sehingga harus dipenuhi. Hal ini sebagaimana pengakuannya yang ditulis dalam pengantar buku ini. [H. 1].

Dalam buku ini, pertama ia memulai dengan pembahasan tentang membaca dua kalimat syahadat sebagai bentuk pelepasan terhadap agama-agama selain Islam. Dan seorang yang telahmembaca dua kalimat syahadat harus menyakini dengan sepenuh hati akan ke-esa-an Allah. Sebab, Islam satu-satunya agama di sisi Allah. Setelah itu orang tersebut harus menjalankan kewajiban shalat, sebagai bukti atas keimanannya pada Allah. Sebab, iman bukan hanya ucapan semata tetapi harus dibuktikan dengan tindakan. Dengan kata lain,pernyataan adalah pengakuan sedang perbuatan adalah buktinya, atau pernyataan adalah bentuk lahiriahnya sedang ruhnya adalah perbuatan [H. 2]. Dan bukan hanya shalat yangmusti ditunaikan oleh orang Islam, tetapi juga zakat dan puasa Ramadhan beserta anjuran beri’tikaf pada sepuluh akhir bulan Ramadhan. Dan haji bagi muslim yang sudah memenuhi syaratnya. [H. 4-12].

Baru setalah ini, kita diajari Sang Wali tentang etika terapan. Seperti etika memberi dan menjawab salam, memotong kuku dan rambut, mandi, berdiri menghormati pemimpin yangadil, kedua orang tua, para ulama dan kyai, makan dan minum, tidur, masuk rumah, dan lainnya.

Menarik untuk dicermati, ketika Abd al-Qâdir menyatakan bahwa dianjurkan untuk berdiri dalam rangka menghormati pemimpin yang adil, kedua orang tua, dan para ulama ataukyai. Pandangan ini didasarkan pada hadits nabi yang menyatakan, “Berdirilah untuk menghormati pemimpimpinmu” dan hadits lain yang menandaskan, “Ketika seorang yang muliadari kaum kalian datang hormatilah” [H. 13].

Di kalangan NU penghomatan pada kyai sangat tinggi, tak hanya cukup dengan berdiri tetapi juga sampai mencium tangan sang kyai. Sebagian kalangan mengangap prilaku waga NUini sebagai bid’ah. Klaim bid’ah inilah yang harus kita pertanyakan, sebab cium tangan itu tak terkait dengan ibadah, tetapi terkait dengan etika. Jadi, persoalannya, bukan sesat atau tidak sesat, tetapi baik atau tidak baik.

Menurut asy-Syâthibî, bid’ah adala sebuah perilaku baru yang dimaksudkan sebagai ibadah [Asy-Syâtthibî, al-‘Itishâm, jilid, 1,h. 50-51]. Jika kita mengikuti pandangan inimaka adat atau kebiasan cium tangan pada kyai bukan termasuk bid’ah karena tak dimaksudkan untuk beribadah, tetapi hanya sebagai bentuk penghomatan pada orang yang kitaanggap mulia. Dengan kata lain, cium tangan tak jadi soal selama itu sebagai bentuk penghormatan. Dan penghormatan pada orang yang kita anggap mulia itu dianjurkan oleh hadits nabi.

Dan bab selanjutnya tentang perintah kebaikan (ma’rûf) dan larangan kemungkaran (munkar). Bagi Sang Wali yang disebut dengan kabaikan, adalah segala hal yang sejalan dengan Al-Quran, sunnah dan akal, sedang kemunkaran adalah sebaliknya [H. 53]. Dengan kata lain, akan mampu untuk menentukan kualitas sebuah tindakan, apakah ia baik atau buruk.Pandangan ini tentunya berbeda dengan Imam Syafii yang menyatakan secara implisit akal tak bisa menentukan kualitas sebuah tindakan [Imam Syafi’i, ar-Risâlah, h. 110].

Dan syarat yang harus dipenuhi ialah adanya kemamupuan untuk menjalankannya. Sebagaimana yang tegaskan dalam salah satu hadits nabi, “Jika kalian melihat kemunkaran dan takmampu untuk merubahnya maka bersabarlah hingga Allah yang akan merubahnya” [H. 51].

Berpijak pada hadits, “Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangan, jika tak bisa, maka rubalah dengan lisan, jika masih tak bisa, maka ingkarilahkemungkaran yang kalian lihat dengan hati”, Sang Wali membagi tiga kelompok para pengingkar kemungkaran. Pertama, mereka yang wajib menghalau kemunkaran dengan tangan, yaitu para penguasa. Kedua, yang melalui lisan, yaitu para ulama. Ketiga, yang melalui hati yaitu orang kebanyakan [50-51]. Jadi, kata “tangan” dalam hadits ini ditafsirkanoleh Sang Wali dengan kekuasaan.

Selanjutnya, Sang Wali menjelaskan lima kualifikasi yang harus dimiliki oleh para penganjur kebaikan dan pelarang kemungkaran. Pertama, mengetahui apa yang diperintahkan dan dilarang, kedua, ikhlas semata-mata mencari ridha Allah dan menegakkan kalimat-Nya, ketiga, memerintah dan melarang dengan lemah-lembut, keempat, sabar dan bijak, dan kelima, menjalankan apa yang diperitahkannya dan apa yang dilarangnya.

Pada bagian berikutnya, Sang Wali merasa perlu untuk menjalaskan secara ringkas pengetahuan tentang Allah. Seperti, Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama. Menurut Sang Wali, barang siapa yang menghafalnya akan masuk surga. Pandangan ini ia dasarkan pada hadits nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah, “Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, dan barang siapa yang menghafalnya akan masuk surga” [H. 61].

Dan Sang Wali berpandangan bahwa Al-Quran adalah rangkaian huruf-huruf yang dapat dipahami dan suara-suara yang dapat didengar. Dan barang siapa yang menolak keyakinan ini maka ia telah mengingkari inderanya dan mati mata hatinya. Salah satu dalil yang dikutip Sang Wali untuk mengabsakan pendaatnya ialah hadits nabi yang menyatakan, “Al-uran diturunkan dengan tujuh huruf (bahasa)” [H. 59].

Sang Wali menyatakan bahwa kalam Allah adalah berupa suara tapi tak seperti suara manusia. Abdullah ibn Hârits meriwayatkan dari Ibn Abbâs, bahwa ia berkata, “Sungguh, Allah ketika berbicara melalui wahyu para penduduk langit mendengar sebuah suara seperti bunyi besi ketika jatuh di halaman rumah, lantas mereka bersungkur sujud pada-Nya....”. Menurutnya, pandangan ini berbeda dengan pandangan kelompok Asy’ariyah yang menyatakan bahwa kalam Allah adalah makna yang berdiri dengan sendirinya [H. 60].

Setelah berbicara mengenai pandangan teologinya, Sang Wali kembali pada pembahasan yang beraroma sufistik. Ia menjelaskan secara panjang lebar lima ayat Al-Quran. Salah satunya ialah ayat bismillah ar-rahmân ar-rahîm. Dalam riwayat Ikrimah dikatakan, bahwa yang pertama diciptakan Allah ialah lauh al-mahfûzh, dan pena. Kemudian Allah memerintakan pada pena untuk menuliskan apa yang ada dan akan terjadi sampai hari kiamat. Sedang yang pertama kali dituliskan di atas lauh al-mahfûzh adalah kata bismillah ar-rahmân ar-rahîm...” [H. 110].

Adapun ayat yang lain adalah, “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-oang yang beriman supaya kamu beruntung” [QS. An-Nûr: 31]. Taubat ialah kembali dari perbuatan yang dibenci Allah ke perbuatan yang disukai-Nya, dan mengetahui bahwa berbuat maksiat bisa menjauhkan dari Allah dan surga-Nya [H. 116].

Bagi Sang Wali, setiap orang harus selalu bertaubat, sebab anggota badan manusia tak bisa lepas dari berbuat kemaksiatan. Selanjutnya, Sang Wali membuat kategori taubat, yaitu taubatnya orang biasa (al-‘âmah), dan taubatnya orang khusus (al-khawwâsh), dan taubatnya orang super khusus (khâsh al-khâsh). Orang biasa taubat dari dosa, orang khusus taubat dari ghaflah (kelalaian mengingat Allah), sedang taubatnya orang super khusus ialah tuabat dari ingatnya ia pada selain Allah [H. 118]. Pandangan ini sama dengan pandangan salah seorang wali yang telah mendahuluinya, yaitu Dzunun al-Misri yang menyatakan, “Taubatnya orang biasa ialah taubat dari dosa, sedang orang khusus dari ghaflah”.

Bagi Sang Wali, seseorang bisa dikatakan telah bertaubat jika telah memenuhi tiga syarat. Dengan kata lain, taubat memiliki syarat-syarat tertentu. Pertama, menyesali dosa-dosa yang telah dilakukan, kedua, meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa dalam secara total, dan ketiga, bertekad untuk tidak mengulangi lagi. [H. 122].

Pada lembar berikutnya, Sang Wali mengupas tentang keutamaan bulan Rajab dan Sya’ban. Allah berfirman dalam Al-Quran, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah duabelas, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya bulan-bulan haram” [QS. At-Taubah: 36]. Bulan-bulan haram yang dimaksud dalam ayat inililah bulan Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram [H. 173]. Dan pada bulan-bulan ini dilarang untuk mengadakan peperangan.

Menurut Sang Wali, disunnahkan berpuasa pada awal bulan dan akhir Rajab. Salah satu dalil yang diketengahkan ialah sabda nabi, “Barang siapa yang berpuasa pada awal bulan Rajab, maka Allah akan menghapus dosanya yang dilakukan selama enam puluh tahun, dan barang siapa yan berpuasa pada lima belas hari di bulan rajab, maka ia akan diringankan hisabnya oleh Allah, dan barang siapa yang berpuasa di hari ketiga puluh di bulan rajab, maka Allah tak akan menyiksanya” [H. 179].

Sedang bulan Sya’ban merupakan bulan turunya ampunan dan keridhaan Allah [H. 186]. Dan di akhir pembahasan tentang bulan Sya’ban, Sang Wali membahas tentang shalat nisfu Sya’ban. Menurutnya, ada seratus rakaat. Dan setiap rakaatnya membaca surat Al-Ikhlâsh sebanyak sepuluh kali. Shalat ini dinamai shalat kebajikan (shalât al-khair). Pandangan ini didasarkan pada tiga puluh sahabat nabi yang menyatakan, “Orang yang menjalankan shalat ini pada malam nisfu Sya’ban, akan dilihat Allah seratus kalipandangan, dan setiap pandangan-Nya akan mengabulkan tujuh puluh hajatnya, yang paling rendah ialah pemberian ampunan”. Sang Wali juga menyebutkan praktek ulama-ulama salaf yang biasa melakukan shalat ini secara berjamaah.

Demikianlah pandangan Syeikh Abd al-Qâdir al-Jîlânî secara umum yang ada dalam kitab al-Ghuniyyah jilid satu.
*Masykurudin Hafidz, Alumnus PP Mambaul Ma'arif Denanyar Jombang Jawa Timur


Tentang Buku
Judul : Al-Ghuniyyah bi Thâlibiy Tharîq al-Haq
Penulis : Syeikh Abd al-Qâdir al-Jîlânî al-Hasanî
Penerbit : Al-Maktabab asy-Sya’biyyah
Cet. : Tanpa tahun
Tebal : Jilid pertama 192 hlm, dan jilid kedua 200 hlm.




Sekilas Tentang Kitab Al-`Itiqad fi Al-Iqtishâd


Kitab Al-`Itiqad fi Al-Iqtishâd
Imam Ghazali nama lengkapnya ialah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali. Ia dilahirkan pada tahun 450 H, ada pendapat yang mengatakan dilahirkan tahun 451 H di Thâbirân, dan meninggal pada hari Senin 14 Jumadil Akhir 550 H.
Selama hidupnya, Al-Ghazali telah mengabdikan dirinya untuk ilmu dan mencari kebenaran. Dan sebagai penghormatan atas sumbangsih pemikiranya dalam ilmu agama umat Islam memberi gelar hujjatul Islam.

Intelektualitas Al-Ghazali dikalangan umat Islam tidak diragukan lagi sehingga bejibun karya telah lahir dari tangannya. Di antaranya ialah, Ihyâ` `Ulûm Ad-Dîn, sebuah buku yang berusaha mempertemukan kekakuan fikih dengan kelembutan tasawuf. Dan dari karya ini Al-Ghazali kemudian menjadi lebih dikenal sebagai seorang tokoh sufi ketimbang seorang ahli hukum fikih.

Padahal masih banyak karya lain yang dikalangan pesantren kurang mendapat perhatian, seperti Al-Mustashfâ, Faishal At-Tafriqah, Mahk An-Nazhar, Al-Qisthash Al-Muastqîm, Mi’yâr Al-‘Ilm,Mukâsyafah Al-Qulûb, Tahâfut Al-Falâsifah, Al-`Iqtishâd fi Al-`Itiqâd, Al-Munqidz min Adh-Dhalâl dan lainnya. Buku yang terakhir disebut adalah karya pamungkas Al-Ghazali sebelum beliau wafat.

Pikiran-pikiran Al-Ghazali dalam bidang akidah jarang disentuh terutama oleh kalangan pesantren meskipun hal itu tertuang dalam kitab Ihyâ-nya. Tetapi lagi-lagi kurang mendapat perhatian maksimal dari mereka. Akibatnya, mereka kurang mengenal pandangan teologinya. Patut untuk dicatat bahwa dalam wilayah akidah Al-Ghazali telah salah satu buku sangat menarik yang mencoba merumuskan keyakinan-keyakinan Ahl As-Sunnah wal Al-Jamâ`ah. Kitab itu diberi nama Al-`Iqtishâd fi Al-`Itiqâd (Pandangan Moderat dalam Berakidah).

Buku ini lahir sebagai respon teologis, pertama atas. kelompok Hasywiyyah. Dalam kaca mata Al-Ghazali pandangan teologi mereka telah mereduksi peran akal sehingga mereka memahami teks secara literal tanpa mau meggali kandungan makna lebih lanjut. Menurut Al-Ghazali hal ini disebabkan kelemahan akal dan pikiran mereka. Dan kedua, para filsuf dan pengikut Muktazilah, Al-Ghazali melihat bahwa mereka telah sewenang-wenang dalam menggunakan kemampuan akal sehingga berani menabrak ketentuan-ketentuan syara’ yang sudah ditetapkan secara pasti (qath’iy) [H. 8].

Karennya, menutur Al-Ghazali ketentuan-ketentuan akidah harus selalu mengedepankan moderatisme dan tetap berada di jalur yang benar [H. 8]. Artinya, peran syara' dan akal dalam persoalan akidah harus seimbang, tidak berat sebelah. Selanjutnya, Al-Ghazali mengumpamakan orang yang sudah merasa cukup dengan hanya berpegang pada petunjuk Al-Qur`an seperti orang yang memandang sinar matahari dengan mata terpejam. Jadi, dia tak ada bedanya dengan orang buta. Sebab akal dengan syara' ibarat cahaya di atas cahaya (nûr ‘alâ nûr) [H. 9].

Dalam buku ini terdapat empat pengantar dan empat bagian. Pengatar pertama menjelaskan bahwa memepelajari ilmu kalam itu sangat penting, Di dalam pengantar pertama ini, Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan dari ilmu ini ialah menghadirkan argumentasi-demonstratif atas eksistensi Allah, sifat dan perbuatan-Nya serta kebenaran Rasulullah Saw [H. 13].

Selajutnya pengantar kedua menegaskan meski mempelajari ilmu kalam sangat penting tetapi itu hanya untuk sebagian orang saja. [H. 14]. Pengantar ketiga merupakan penegasan dari pengatar kedua. Al-Ghazali menegaskan bahwa mendalami ilmu kalam merupakan kewajiban sosial (fardh kifâyah). Sebab, semua orang hanya wajib untuk membenarkan dan membersihkan hati dari keraguan dalam keberimanan. Sedang menghilangkan keraguan hanya menjadi kewajiban personal (fardh `ain) bagi orang yang tertimpa keraguan [H. 17].

Terakhir adalah pengantar keempat. Dalam pengantar keempat Al-Ghazali memaparkan metodelogi yang dipakai dalam buku ini. Kata Al-Ghazali, ada tiga metode yang digunakan.

Pertama, As-Sibr wa At-Taqsîm. Yaitu membatasi suatu persoalan dalam dua bagian kemudian salah satu dari bagian tersebut digugurkan. Misalnya, alam itu bisa temporer (hâdits) dan bisa eternal (qadîm) Tetapi mustahil alam itu eternal Karenanya dapat dipastikan bahwa alam itu temporer [H. 18-19]

Kedua, menggunakan metode qiyas hamli. Contohnya, setiap sesuatu yang tidak terlepas dari hal-hal baru adalah baru (premis mayor), sedang alam tidak tidak terlepas dari hal-hal baru (premis minor), karenanya, alam itu baru (kesimpulan) [H. 19].

Ketiga, menetapkan kemustahilan klaim atau pendapat lawan dengan menjelaskan bahwa pendapatnya menyebabkan hukum ketidakmungkinan. Contohnya, jika pendapat lawan yang mengatakan bahwa beredarnya galaksi (daurât al-falak) tak mengalami keberakhiran adalah benar, maka benarlah orang yang mengatakan bahwa sesuatu yang tak memiliki keberakhiran itu telah selesai, padahal ini tidak mungkin. Dari sini bisa dikatakan bahwa pendapat lawan itu mustahil. Sebab, sesuatu yang mengakibatkan hukum ketidakmungkinan adalah mustahil. [H. 19-20].

Demikianlah empat pengantar yang telah dipaparkan oleh Al-Ghazali dalam buku ini sebagai pintu masuk ke dalam empat bagian yang ada di dalamnya. Bagian pertama sampai ketiga membahas seputar dzat, sifat dan perbuatan Tuhan [H. 25-145], sedang bagian yang keempat terdiri dari empat bab [H. 145-182].

Bab pertama, penetapan kenabian Muhammad Saw. Pada bab ini, Al-Ghazali merasa perlu untuk menegaskan dan membela kenabian Muhammad Saw. Pembelaan ini diarahakan untuk menolak pandangan tiga sekte yang menurutnya telah menolak untuk mengakui kenabian Muhammad Saw. Pertama, sekte `Aisawiyyah, mereka berpendapat bahwa Muhammad Saw hanyalah utusan yang diperuntukan bagi bangasa Arab saja. Kedua, kelompok Yahudi yang tak sudi mengakui kebenaran Muhammad Saw, bahkan tidak cukup di situ saja mereka juga menolak kenabian Isa as. Sebab, menurut mereka tidak ada nabi setelah nabi Musa as. Jadi, menurut Al-Ghazali, tidak hanya kenabian Muhammad yang perlu dibela tetapi juga kenabian Isa as. Ketiga, kelompok orang-orang memperbolehkan adanya hukum naskh tapi menginkari kemukjizatan Muhammad Saw yang tertera di dalam Al-Qur`an [H. 145, 148].

Bab kedua, hal-hal yang terkait dengan akhirat yang diwartakan Rasulullah Saw, seperti, hari penggiringn seluruh makhluk di padang mahsyar, hari kebangkitan, siksa kubur, dan shirât, dan hari perhitungan setiap amal. Dalam menjelaskan hal-hal itu Al-Ghazali menggunakan dalil naqli dan aqli.

Bab ketiga, imamah dan syarat-syaratnya. Di bab ini Al-Ghazali tampak agak sungkan untuk menjelaskan permasalahan imamah. Sebab bagi Al-Ghazali persoalan imamah bukan termasuk hal yang krusial (an-nazhar fi al-imâmah laisa min al-muhimmât), tetapi ia adalah sumber fanatisme. Karenanya, menurut Al-Ghazali persoalan imamah lebih baik dihindari [H. 166-167]. Akibatnya, Al-Ghazali hanya menjelaskan sedikit konsep imamah. Pertama, kewajiban mengangkat seorang kepala negara (imam), kedua, orang yang berhak untuk dijadikan kepala negara, ketiga, bagiamana pandangan (akidah) ahl as-sunnah wa al-jamâ`ah terhadap sahabat dan khulafâ` ar-râsyidûn.

Bab keempat, menjelaskan batasan takfîr. Dalam bab ini Al-Ghazali menyatakan dengan tegas, bahwa menghalal darah dan harta orang yang masih menjalankan shalat menghadap ke ka’bah dan mengucapkan la ilaha illallah muhammad ar-rasûlullah adalah kesalahan besar. Dan kesalahan membiarkan orang kafir tetap hidup itu kebih ringan dari pada mengalirkan segelas darah orang muslim [H. 187].

Pernyataan Al-Ghazali di atas jelas sebagai peringatan kepada kita untuk tidak dengan mudah memberikan label kafir kepada orang yang kita anggap bersebrangan dengan kita. Sebab, hanya Allahlah yang paling mengetahui siapa yang kafir dan mukmin di antara kita. Sebagaimana yang ditegas dalam Al-Qur`an, Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk [QS. Al-An`âm: 117].

Tentang Buku

Judul : Al-`Iqtishad fi Al-I’tiqâd
Pengarang : Imam Al-Ghazali
Penerbit : Dâr al-Fikr, Bairut-Libanon
Cet./Tahun : Pertama, 1997 M
Tebal :184 halaman
Taisir al-Ijtihâd
Jumat, 08 Agustus 2008


Taisir al-Ijtihâd
Madzhab Syafi'i memiliki seorang intelektual besar dan disegani dalam dunia Islam. Yaitu Jalâl ad-Dîn Abd. ar-Rahmân as-Suyûthî, ia lahir di Kairo bulan Rajab 849 H dan meninggal 911 H. Sejak kecil ayahnya telah mengajarinya ilmu agama dan menyuruh untuk menghafalkan Al-Quran. Menginjak umur lima tahun sang ayah menghadap Sang Pencipta. Ia dijuluki Ibn al-Kutub, karena konon katanya ia lahir di atas tumpukkan buku.
Saat ayahnya meninggal si kecil Jalâl ad-Dîn as-Suyûthî baru hafal Al-Quran sampai surat At-Tahrîm. Tetapi karena kecerdasannya, tak sampai umur delapan tahun ia sudah selesai menghafal Al-Quran. As-Suyûthî belajar pada banyak ulama yang tekenal pada zamannya. Di antaranya ia belajar fikih pada ‘Alam ad-Dîn al-Balqînî dan tafsir pada Muhyî ad-Dîn al-Kâfîjî.

Dari tangannya lahir lebih dari tiga ratus buku. Sedang karya yang sampai pada kita di antaranya ialah; Tafsîr al-Jalâlain, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’an, Mu’tarak al-Aqrân, ad-Dur al-Mantsûr fi at-Tafsîr al-Ma`tsûr, Lubâb an-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl, al-Iklîl fi isthimbâth at-Tanjîl, al-Jâmi’al-Kabîr, al-Jâm’ ash-Shagîr, al-Asybâh wa an-Nadhâir, Taisir al-Ijtihâd, dan masih banyak karya lainnya.

Kitab yang disebut terakhir, yaitu Taisir al-Ijtihad merupakan sebuah buku kecil yang mengkupas tentang ijtihad. Ijtihad sebagaimana yang kita ketahui ialah mengerahkan segala kemampuan nalar untuk menghasilkan hukum Allah. Namun apakah setiap orang wajib melakukan ijtihad? Di sinilah as-Suyûthî tampil memberikan jawaban yang sangat memuaskan, bahwa ijtihad adalah kewajiban kolektif (fardh al-kifâyah). Jadi, ketika sudah ada orang yang melakukannya maka gugurlah kewajiban setiap orang.

Untuk mendukung pendapatnya as-Suyûthî menyebutkan beberapa pendapat ulama. Di antaranya pendapat az-Zarkasyî yang menyatakan bahwa ijtihad adalah kewajiban kolektif [H. 21].

Selanjutnya, as-Suyûthî menyatakan bahwa ijthad sangat penting karena realitas tak penah berhenti sedang teks itu berhenti. Karenanya, ijtihad harus selalu ada. Dan pada setiap generasi musti harus ada mujtahid. Untuk meneguhkan hal ini as-Suyûthî mengutip beberapa pendapat ulama. Di antaranya ialah pendapat para pengikut madzhab Hanafi yang menyatakan bahwa zaman tak pernah lekang dari seorang mujtahid muthlaq atau muqayyad. Sebab, Rasul bersabda, “Akan ada salah satu kelompok umatku yang selalu membela kebenaran sampai datangnya kiamat” [H. 25].

Dalam kacamata as-Suyûthî mujtahid ialah pembaharu agama. Pendapat ini ia sandarkan pada hadits nabi yang menyatkan, “Sungguh, setiap seratus tahus sekali Allah mengutus pada umat ini seorang yang memperbaharui agama mereka”.Tetapi menurutnya, tak harus satu orang yang diutus sebagai pembaharu pada satu masa, bisa jadi lebih. [H. 51]. Demikian pendapat para komentator hadits, sebagaiman yang dikutip oleh as-Suyûthî.

Dalam buku ini as-Suyûthî juga menjelaskan syarat-syarat ijtihad menurut para ulama. Seperti menurut asy-Syahrastanî, Rafi’i, Nawawî, al-Ghazali, Abu Manshûr at-Tamîmî. Dari semua persayaratan yang disebutkan oleh para ulama tersebut tak memasukan pengetahuan tentang teologi filsuf (ilmu kalam) sebagai ilmu yang musti dikuasi oleh seorang mujtahid [H. 31-38]. Bisa jadi, karena ilmu kalam termasuk yang dibenci oleh Imam Syafii, sedang dia adalah seorang penganut Madzhab Syafii, meski dalam ar-Risâlah-nya secara eksplisit kita bisa merasakan aroma teologi Syafii.

Setelah menyebutkan syarat-syarat ijtihad menurut para ulama, kemudian as-Suyûthî menjelaskan syarat ijtihad versi dirinya. Yaitu, seorang mujtahid harus menguasi pengetahuan tentang Al-Quran, sunnah, ushul fikih, ilmu bahasa, nahw, sharf, ma’ânî, bayân, badî’, pengetahuan tentang konsensus dan perbedaan, ilmu matematika, fiqh an-nafs, menguasi sebagian besar kaidah-kaidah syara’, dan ilmu akhlak [H. 39-41].

Sedang cara yang ditempuh untuk berijihad untuk menyelesaikan sebuah kasus ialah dengan mencari dalil dari Al-Quran, jika tak ditemukan maka harus dicari dalam sunnah. Dan bila sunnah juga masih tak memberikan jawaban atas kasus yang ada maka harus cari dalam ijmak. Dan jika tak ditemukan juga maka harus menggunakan qiyas. Inilah hirarki cara berijtihad yang ditawarkan oleh as-Suyûthî [H. 49-50].

Demikianlah secuil dari upaya as-Suyûthiî untuk selalu membuka pintu ijtihad dan menutup pintu taklid. Sebab, wahyu sudah tak turun lagi sdang realitas terus bergerak maju. Di sinilah kemampuan nalar kita musti digunakan untuk menghadapi realitas yang terus bergerak. Selamat berijtihad!!

(*) Mahbub Ma'afi, Alumni Sekolah Islam Salaf (SIS) Pondok Pesantren Girikusumo, Mranggen, Demak, Jawa Tengah

Tentang Buku
Judul : Taisir al-Ijtihâd
Penulis : Jalâl Abd ar-Rahmân as-Suyûthî
Penerbit : Al-Maktabah at-Tijâriyyah, Makkah al-Mukarramah
Editor : DR. Fuad Abd al-Mun’im Ahmad
Tebal : 84 hlm



Etika Santri Menurut al-Jarnuji
Senin, 25 Agustus 2008


Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum
Di lingkungan pesantren tradisional, yang menekankan pemahaman kitab-kitab salaf, seolah-olah kitab Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum (Mengajar Metode Belajar kepada Santri) merupakan kitab kedua sesudah al-Qur’an. Studi seorang santri dianggap belum memenuhi syarat apabila ia belum mengaji kitab ini. Dan karena isi dan penyajiannya sedemikian rupa, kitab tersebut sering disebut sebagai “Buku Petunjuk Menjadi Kyai”.
Sedang di kalangan pesantren-pesantren modern yang penekanan pemahaman terhadap kitab-kitab salaf agak kurang, kitab Ta’lim ini nyaris tidak populer, bahkan tidak kenal sama sekali. Dan agaknya pengaruh kitab ini yang sedikit membedakan “penampilan” antara alumnus pesantren tradisional dengan alumnus pesantren modern.

Di beberapa negara Timur Tengah, khususnya Saudi Arabia kitab ini juga tidak disebut-sebut. Namun usaha seorang Doktor lulusan Jerman (dulu: Jerman Barat) yang melakukan edit dan kritik terhadap kitab ini membuktikan bahwa kitab tersebut masih diperhatikan orang.

Siapa al-Jarnuji?
Kitab Ta’lim yang beredar di tanah air umumnya dicetak dengan syarah (komentar)nya yang ditulis Syeikh Ibrahim ibn Isma’il. Sedang kitab Ta’lim itu sendiri ditulis oleh Syeikh al-Jarnuji. Baik kitab Ta’lim maupun Syarah-nya tidak menyebut identitas al-Jarnuji. Hal ini cukup mempersulit kajian kitab tersebut, sehingga dapat diketahui bagaiamana keadaan pada waktu kitab itu ditulis dan sejauhmana hal itu mempengaruhi kitabnya.

Dalam al-Munjid nama al-Jarnuji disebut singkat sekali. Yang agak membantu hal ini adalah keterangan yang terdapat dalam kitab al-A’lam (Tokoh-tokoh) karangan al-Zarkeli. Ditulis di situ bahwa al-Jarnuji adalah al-Nu’man ibn Ibrahim ibn Khalil al-Jarnuji, Taj al-Din. Beliau adalah sastrawan (adib) yang berasal dari Bukhara. Semula berasal dari Zarnuj, suatu kawasan di negeri-negeri seberang sungai Tigris (ma wara`a al-nahr). Beliau antara lain menulis kitab al-Muwadhdhah Syarh al-Maqamat al-Haririyah, dan wafat pada tahun 630 H/ 1242 M.

Al-Zarkeli tidak menuturkan di mana al-Jarnuji tinggal, namun secara umum al-Jarnuji hidup pada akhir periode Daulah Abbasiyah, sebab Khalifah Abbasiyah terakhir (al-Mu’tashim) wafat pada tahun 1258 M. Ada kemungkinan beliau tinggal di kawasan Irak-Iran, sebab beliau juga mengetahui syair-syair Parsi di samping banyaknya contoh-contoh peristiwa pada masa Abbasiyah yang beliau tuturkan dalam kitabnya.

Etika Santri
Kitab kecil, yang juga disebut Risalah (surat) ini, oleh pengarangnya dimaksudkan sebagai buku petunjuk tentang metode belajar bagi santri, seperti tersembul dari judulnya. Namun apabila dikaji isinya, metode belajar yang dimaksud sangat sedikit. Di antara 14 bab yang terdapat kitab ini (istilah kitabnya, fashl) hanya satu bab saja yang membahas metode belajar. Selebihnya membahas tentang keutamaan ilmu, motivasi belajar, memilih ilmu, guru, dan kawan, memuliakan ilmu dan ulama, dan lain-lain. Bahkan membahas hal-hal yang dianggap dapat mempercepat rizki, karena belajar tak pelak lagi memerlukan hal itu.

Karenanya, kitab ini cenderung lebih tepat disebut sebagai kitab yang membahas etika santri, khususnya kepada guru-gurunya, dibanding sebagai kitab tentang metode belajar. Dan agaknya, bagian inilah yang paling banyak mempunyai dampak. Di lingkungan pesantren, santri yang tidak sopan terhadap guru, ia akan segera dicap “tidak pernah mengaji kitab Ta’lim”, tetapi santri yang bodoh yang boleh jadi belum atau tidak mempraktekan isi kitab tersebut, cap itu tidak akan disandanganya. Dan karena pengarangnya seorang santrawan, maka petuah-petuah untuk itu juga banyak diambil dari syair-syair Arab.

Namun persoalaannya tidak berhenti sampai di situ, al-Jarnuji menyebut kitabnya sebagai metode belajar, sedangkan kajiannya banyak membahas etika. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah etika itu sendiri merupakan salah satu metode untuk meraih ilmu? Tampaknya di kalangan pesantren ada kecenderungan untuk menyebutkan bahwa etika santri, terutama kepada gurunya, merupakan salah satu perangkat untuk memperoleh ilmu. Kisah-kisah santri yang pada waktu nyantrinya menjadi khadam (pembantu) kyai, menjadi tukang ambil air, dan lain-lain, tiba-tiba setelah pulang muncul sebagai kyai yang alim, adalah cerita yang sangat populer di kalangan pesantren semata-mata karena keluhuran spiritual seorang kyai atau pendiri pesantren tersebut. Baginya masalah metode belajar tidak menjadi soal, yang penting setelah sekian lama menyantri kelak akan muncul sebagai kyai yang alim, berkat ‘barakah’ dari kyai tersebut.

Kecendungan ini masih sangat berpengaruh di masyarakat. Tak heran kalau tokoh pesantren seperti H.M. Yusuf Hasyim, Pengasuh Pesantren Tebuireng, membuat istilah adanya “lembaga Barakah” di pesantren, ketika santri belajar hanya semata-mata mengharapkan barakah dari kyai atau pendiri pesantren.

Adanya barakah sebenarnya tidak perlu dipersoalkan, sebab pengertian barakah adalah kebaikan atau manfaat yang berkembang. Dan dalam hal ini, hasil doa para kyai dan guru untuk para santrinya dapat disebut barakah. Hanya harapan santri untuk memperoleh barakah hendaknya tidak mengurangi usahanya dalam belajar secara lahiriah. Dengan demikian, santri dalam satu saat harus menyatukan antara usaha (ikhtiar) dan doa.

Menjadi Budak Guru?
Salah satu bagian dari petuah-petuah kitab ini —dan ini yang paling berpengaruh seperti dituturkan di muka— adalah keharusan seorang santri untuk menghormati gurunya, begitu pula orang-orang yang mempunyai pertalian darah dengannya, seperti puteranya dan lain-lain. Khusus untuk menghormati guru, al-Jarnuji menyitir ucapan Sayidina Ali, “ana ‘abdu man ‘allamani harfan, in sya`a ba’a, wa in sya`a a’taqa wa in sya’a istaqarra” (Saya adalah hamba orang yang pernah mengajarkan satu huruf kepada saya, apabila ia mau boleh menjualku, memerdekakanku, atau tetap memperbudakku). Al-Jarnuji juga menuturkan beberapa cara menghormati guru, antara lain santri tidak diperkenankan berjalan di hadapan guru, tidak diperkenankan duduk di tempat duduknya, tidak boleh mendahului berbicara tanpa izinnya. Tidak boleh banyak berbicara dengannya, tidak boleh menanyakan hal-hal yang gurunya sudah jenuh, tidak boleh mengetuk pintunya tetapi mesti menunggu sampai keluar sendiri. Walhasil, santri harus selalu mencari kerelaan gurunya (tidak menyakiti hatinya) dan mematuhi segala perintahnya, sepanjang hal itu bukan ma’siat.

Keterangan inilah, agaknya, yang menimbulkan persepsi penyerahan total seorang santri kepada gurunya. Apalagi bila diingat adanya bayang-bayang, ilmunya tidak akan bermanfaat apabila ia pernah berbeda pendapat (I’tiradh) dengan gurunya atau pernah menyakiti hatinya. Persepsi ini, meski mempunyai nilai positif, namun tak urung menimbulkan dampak yang kurang diinginkan. Sebab, santri harus bersikap menerima tanpa berani bersikap kritis.

Al-Jarnuji memang tidak memberikan rincian tentang masalah-masalah apa yang bisa menyakiti guru itu. Barang kali karena tidak adanya rincian ini menjadikan hal itu diberlakukan secara umum. Dan anehnya, meskipun hal itu hanya dibahas dalam rangka belajar, namun implementasinya justru tampak di luar itu. Persepsi ‘apa kata guru dan murid harus menerimanya’ sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat secara luas.

Keharusan memperoleh kerelaan guru nampak sangar relatif, apalagi bila hal itu dihubungkan dengan masalah interpretasi. Ternyata al-Jarnuji tidak menuturkan satu dalil pun petuahnya itu, selain ucapan Sayidina Ali serta sejumlah syair.

Dalam kaitannya dengan tradisi keilmuan, apabila kita tengok masa-masa jauh sebelum al-Jarnuji, misalnya periode imam-imam penegak madzhab, kita dapat memperoleh gambaran bahwa mereka tidak selamanya sependapat dengan gurunya. Bahkan, di antara mereka ada yang mendirikan madzhab sendiri, terpisah dari madzhab gurunya. Jauh sebelum itu, Umar ibn Khathab pernah juga diprotes oleh seorang wanita yang juga sebagai muridnya. Bila petuah al-Jarnuji di atas menjadi kriteria, sebenarnya gurulah yang sebenarnya elastis dalam mengkonotasikan kerelaannya. Sebab, boleh jadi seorang guru merasa tersinggung (tidak rela) apabila muridnya berbeda pendapat dengannya, sedangkan guru lain justru merasa bangga, bakan mendorong apabila muridnya berpendapat lain selama hal itu berdasarkan argumen yang kuat.

Tentang bayangan bahwa ilmu seorang santri tidak akan bermanfaat apabila ia pernah menyakiti hati gurunya, juga perlu direnungkan kembali. Apakah batasan manfaat dan dalam hal apa murid tidak diperkenankan sama sekali menyakiti hati gurunya. Sebab, ternyata banyak murid yang sewaktu belajar pernah melakukan ‘unjuk rasa’ terhadap gurunya, namun setelah terjun di masyarakat ia justru menjadi ulama besar.

Ushul Fiqih, Menerobos Taklid
Kepatuhan mutlak seperti tersebut di atas umumnya terdapat di kalangan murid atau santri tingkat Tsanawiyah ke bawah. Mereka yang sudah menginjakkan kakinya di tingkat Aliyah, apalagi di perguruan tinggi, keadaan di atas memperoleh bentuk yang lain. Masalahnya bukan karena mereka tidak lagi patuh kepada gurunya, melainkan pada tingkat tersebut usaha penalaran mulai dikembangkan. Pada tingat Aliyah, misalnya, murid tidak lagi sekedar menerima pelajaran yang sudah mapan seperti fiqh dan lain sebagainya, tetapi dikenalkan pula sumber-sumber atau dalil-dalil pelajaran itu. Di sini santri mulai mengenal proses terbentuknya fiqh, yang kenal dengan ‘ushul fiqh’. Karena tujuan ushul fiqh adalah mengkaji sumber dan cara pengambilan hukum, maka secara praktis ia menghendaki agar manusia tidak bersikap taklid (menerima apa adanya tanpa mengetahui sumbernya). Disinilah murid mulai berani mempertanyakan keabsahan suatu hukum kepada gurunya, tanpa meninggalkan penghormatan kepadanya. Umumnya, pada tingkat ini guru cukup menghargai sikap murid-murid yang demikian. Biasanya keadaan ini didukung pula oleh sistem pengajian yang individual (sorogan) atau klasikal.

Karenanya, dapat dimaklumi apabila murid-murid pesantren yang menerapkan sistem klasikal dan individual ini lebih mencerminkan kelonggaran berfikir dari pada murid-murid pesantren yang menerapkan sistem pengajian bandongan (massal). Murid-murid pesantren tipe pertama akan mengatakan apa kata dalil dan bagaimana memprosesnya menjadi suatu hukum, sedang murid-murid pesantren tipe kedua lebih cenderung mengatakan apa kata guru atau apa kata kyai.

Keseimbangan (Tawazun)
Kitan Ta’lim karangan al-Jarnuji ini lebih tepat disebut sebagai kitab yang membahas etika santri, terutama terhadap gurunya, dari pada sebagai kitab metode, kecuali apabila kita sependapat bahwa etika itu sendiri merupakan metode. Namun etika yang dimaksud oleh kitab ini lebih banyak diwarnai oleh keadaan pada waktu kitab tersebut ditulis, seperti dapat dilihat dari banyaknya contoh-contoh yang bersifat lokal.

Tanpa mengurangi etika yang hendak ditanamkan oleh al-Jarnuji, sesudah mengkaji kitab ini seyogyanya murid melanjutkan kajiannya tentang kitab-kitab ushul fiqh. Dengan demikian murid dapat memiliki kelebihan ganda, kemampuan berfikir longgar dan etika yang terpuji. Kedua kelebihan ini perlu diwujudkan secara berimbang (tawazun), sebab sikap kritis yang tidak diimbangi dengan etika akan merepotkan para guru dan pengelola pendidikan, sedang keluhuran etika tanpa dibarengi dengan sikap kritis sering menimbulkan ‘lelucon’. Guru yang didemonstrasi muridnya merupakan contoh keadaan pertama, dan seorang murid yang mencium tangan tamu non muslim yang datang ke sekolahnya merupakan contoh untuk keadaan kedua. (amy)

Tentang Buku
Judul : Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum
Penulis : al-Nu’man ibn Ibrahim al-Khalil al-Jarnuji
Penerbit : Dar al-Kutub al-Islamiyyah
Tebal : 96 hlm.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar