RIBATH NURUL HIDAYAH

RESENSI

Rabu, 04 November 2009

Kitab Klasik

Serpihan Pemikiran Sang Wali
Senin, 18 Agustus 2008


Al-Ghuniyyah bi Thâlibiy Tharîq al-Haq
Dunia tasawuf tak bisa dilepaskan dengan nama salah seorang tokohnya, yaitu Syeikh Abd al-Qâdir al-Jîlani yang lahir tahun 470 H dan meninggal 561 H, dan dimakankan di kota Baghdad. Konon katanya, ketika siang di bulan Ramadhan si kecil Abd al-Qâdir tak mau menyusu pada ibunya.
Setelah dewasa, ia mampu menguasai fikih Syafi’i dan Hambali, sehingga ia menjadi rujukan atau tempat bertanya tentang persoalan fikih kedua madzhab tersebut. Di samping ahli dalam bidang fikih, ia juga kenal sebagai seorang wali. Dengan demikian ia telah sukses baik dalam karir intelektual maupun kewalian.

Dalam dunia kewalian, Abd al-Qâdir disemati gelar sulthân al-awliyâ` atau pemimpin para wali. Inilah gelar tertinggi wali. Dalam dunia kewalian, para wali telah menciptakan lima struktur atau level yang berbentuk seperti piramid. Yaitu, qutb, nuqabâ`, awtâd, abdâl, dan akhyâr. Qutb diisi satu wali, sedang nuqabâ` tiga wali, awtâd tujuh wali, abdâl empat puluh wali, dan akhyâr tiga ratus wali. Sedang Abd al-Qâdir telah mencapai puncak kewalian, yaitu berada pada level qutb.

Dalam perjalanannya, karier kewalian inilah yang lebih dikenal, sehingga kemudian sosok Syeikh Abd al-Qâdir lebih kita kenal sebagai seorang wali dengan segala karomah yangmelekat padanya. Bukan dimensi pemikirannya dalam bidang tasawuf. Padahal dari tangannya hadir banyak karya di antaranya ialah sebuah buku yang beri judul al-Ghuniyyah. Buku ini terdiri dari dua jilid dan berisi tentang etika terapan Islam, teologi, nasehat beberapa ayat Al-Quran dan hadits nabi, serta perilaku orang-orang saleh.

Sang Wali mengakui bahwa buku ini ditulis untuk memenuhi permintaan dan desakan sebagian teman-temannya. Ia melihat bahwa permintaan mereka sangat tulus, sehingga harus dipenuhi. Hal ini sebagaimana pengakuannya yang ditulis dalam pengantar buku ini. [H. 1].

Dalam buku ini, pertama ia memulai dengan pembahasan tentang membaca dua kalimat syahadat sebagai bentuk pelepasan terhadap agama-agama selain Islam. Dan seorang yang telahmembaca dua kalimat syahadat harus menyakini dengan sepenuh hati akan ke-esa-an Allah. Sebab, Islam satu-satunya agama di sisi Allah. Setelah itu orang tersebut harus menjalankan kewajiban shalat, sebagai bukti atas keimanannya pada Allah. Sebab, iman bukan hanya ucapan semata tetapi harus dibuktikan dengan tindakan. Dengan kata lain,pernyataan adalah pengakuan sedang perbuatan adalah buktinya, atau pernyataan adalah bentuk lahiriahnya sedang ruhnya adalah perbuatan [H. 2]. Dan bukan hanya shalat yangmusti ditunaikan oleh orang Islam, tetapi juga zakat dan puasa Ramadhan beserta anjuran beri’tikaf pada sepuluh akhir bulan Ramadhan. Dan haji bagi muslim yang sudah memenuhi syaratnya. [H. 4-12].

Baru setalah ini, kita diajari Sang Wali tentang etika terapan. Seperti etika memberi dan menjawab salam, memotong kuku dan rambut, mandi, berdiri menghormati pemimpin yangadil, kedua orang tua, para ulama dan kyai, makan dan minum, tidur, masuk rumah, dan lainnya.

Menarik untuk dicermati, ketika Abd al-Qâdir menyatakan bahwa dianjurkan untuk berdiri dalam rangka menghormati pemimpin yang adil, kedua orang tua, dan para ulama ataukyai. Pandangan ini didasarkan pada hadits nabi yang menyatakan, “Berdirilah untuk menghormati pemimpimpinmu” dan hadits lain yang menandaskan, “Ketika seorang yang muliadari kaum kalian datang hormatilah” [H. 13].

Di kalangan NU penghomatan pada kyai sangat tinggi, tak hanya cukup dengan berdiri tetapi juga sampai mencium tangan sang kyai. Sebagian kalangan mengangap prilaku waga NUini sebagai bid’ah. Klaim bid’ah inilah yang harus kita pertanyakan, sebab cium tangan itu tak terkait dengan ibadah, tetapi terkait dengan etika. Jadi, persoalannya, bukan sesat atau tidak sesat, tetapi baik atau tidak baik.

Menurut asy-Syâthibî, bid’ah adala sebuah perilaku baru yang dimaksudkan sebagai ibadah [Asy-Syâtthibî, al-‘Itishâm, jilid, 1,h. 50-51]. Jika kita mengikuti pandangan inimaka adat atau kebiasan cium tangan pada kyai bukan termasuk bid’ah karena tak dimaksudkan untuk beribadah, tetapi hanya sebagai bentuk penghomatan pada orang yang kitaanggap mulia. Dengan kata lain, cium tangan tak jadi soal selama itu sebagai bentuk penghormatan. Dan penghormatan pada orang yang kita anggap mulia itu dianjurkan oleh hadits nabi.

Dan bab selanjutnya tentang perintah kebaikan (ma’rûf) dan larangan kemungkaran (munkar). Bagi Sang Wali yang disebut dengan kabaikan, adalah segala hal yang sejalan dengan Al-Quran, sunnah dan akal, sedang kemunkaran adalah sebaliknya [H. 53]. Dengan kata lain, akan mampu untuk menentukan kualitas sebuah tindakan, apakah ia baik atau buruk.Pandangan ini tentunya berbeda dengan Imam Syafii yang menyatakan secara implisit akal tak bisa menentukan kualitas sebuah tindakan [Imam Syafi’i, ar-Risâlah, h. 110].

Dan syarat yang harus dipenuhi ialah adanya kemamupuan untuk menjalankannya. Sebagaimana yang tegaskan dalam salah satu hadits nabi, “Jika kalian melihat kemunkaran dan takmampu untuk merubahnya maka bersabarlah hingga Allah yang akan merubahnya” [H. 51].

Berpijak pada hadits, “Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangan, jika tak bisa, maka rubalah dengan lisan, jika masih tak bisa, maka ingkarilahkemungkaran yang kalian lihat dengan hati”, Sang Wali membagi tiga kelompok para pengingkar kemungkaran. Pertama, mereka yang wajib menghalau kemunkaran dengan tangan, yaitu para penguasa. Kedua, yang melalui lisan, yaitu para ulama. Ketiga, yang melalui hati yaitu orang kebanyakan [50-51]. Jadi, kata “tangan” dalam hadits ini ditafsirkanoleh Sang Wali dengan kekuasaan.

Selanjutnya, Sang Wali menjelaskan lima kualifikasi yang harus dimiliki oleh para penganjur kebaikan dan pelarang kemungkaran. Pertama, mengetahui apa yang diperintahkan dan dilarang, kedua, ikhlas semata-mata mencari ridha Allah dan menegakkan kalimat-Nya, ketiga, memerintah dan melarang dengan lemah-lembut, keempat, sabar dan bijak, dan kelima, menjalankan apa yang diperitahkannya dan apa yang dilarangnya.

Pada bagian berikutnya, Sang Wali merasa perlu untuk menjalaskan secara ringkas pengetahuan tentang Allah. Seperti, Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama. Menurut Sang Wali, barang siapa yang menghafalnya akan masuk surga. Pandangan ini ia dasarkan pada hadits nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah, “Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, dan barang siapa yang menghafalnya akan masuk surga” [H. 61].

Dan Sang Wali berpandangan bahwa Al-Quran adalah rangkaian huruf-huruf yang dapat dipahami dan suara-suara yang dapat didengar. Dan barang siapa yang menolak keyakinan ini maka ia telah mengingkari inderanya dan mati mata hatinya. Salah satu dalil yang dikutip Sang Wali untuk mengabsakan pendaatnya ialah hadits nabi yang menyatakan, “Al-uran diturunkan dengan tujuh huruf (bahasa)” [H. 59].

Sang Wali menyatakan bahwa kalam Allah adalah berupa suara tapi tak seperti suara manusia. Abdullah ibn Hârits meriwayatkan dari Ibn Abbâs, bahwa ia berkata, “Sungguh, Allah ketika berbicara melalui wahyu para penduduk langit mendengar sebuah suara seperti bunyi besi ketika jatuh di halaman rumah, lantas mereka bersungkur sujud pada-Nya....”. Menurutnya, pandangan ini berbeda dengan pandangan kelompok Asy’ariyah yang menyatakan bahwa kalam Allah adalah makna yang berdiri dengan sendirinya [H. 60].

Setelah berbicara mengenai pandangan teologinya, Sang Wali kembali pada pembahasan yang beraroma sufistik. Ia menjelaskan secara panjang lebar lima ayat Al-Quran. Salah satunya ialah ayat bismillah ar-rahmân ar-rahîm. Dalam riwayat Ikrimah dikatakan, bahwa yang pertama diciptakan Allah ialah lauh al-mahfûzh, dan pena. Kemudian Allah memerintakan pada pena untuk menuliskan apa yang ada dan akan terjadi sampai hari kiamat. Sedang yang pertama kali dituliskan di atas lauh al-mahfûzh adalah kata bismillah ar-rahmân ar-rahîm...” [H. 110].

Adapun ayat yang lain adalah, “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-oang yang beriman supaya kamu beruntung” [QS. An-Nûr: 31]. Taubat ialah kembali dari perbuatan yang dibenci Allah ke perbuatan yang disukai-Nya, dan mengetahui bahwa berbuat maksiat bisa menjauhkan dari Allah dan surga-Nya [H. 116].

Bagi Sang Wali, setiap orang harus selalu bertaubat, sebab anggota badan manusia tak bisa lepas dari berbuat kemaksiatan. Selanjutnya, Sang Wali membuat kategori taubat, yaitu taubatnya orang biasa (al-‘âmah), dan taubatnya orang khusus (al-khawwâsh), dan taubatnya orang super khusus (khâsh al-khâsh). Orang biasa taubat dari dosa, orang khusus taubat dari ghaflah (kelalaian mengingat Allah), sedang taubatnya orang super khusus ialah tuabat dari ingatnya ia pada selain Allah [H. 118]. Pandangan ini sama dengan pandangan salah seorang wali yang telah mendahuluinya, yaitu Dzunun al-Misri yang menyatakan, “Taubatnya orang biasa ialah taubat dari dosa, sedang orang khusus dari ghaflah”.

Bagi Sang Wali, seseorang bisa dikatakan telah bertaubat jika telah memenuhi tiga syarat. Dengan kata lain, taubat memiliki syarat-syarat tertentu. Pertama, menyesali dosa-dosa yang telah dilakukan, kedua, meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa dalam secara total, dan ketiga, bertekad untuk tidak mengulangi lagi. [H. 122].

Pada lembar berikutnya, Sang Wali mengupas tentang keutamaan bulan Rajab dan Sya’ban. Allah berfirman dalam Al-Quran, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah duabelas, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya bulan-bulan haram” [QS. At-Taubah: 36]. Bulan-bulan haram yang dimaksud dalam ayat inililah bulan Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram [H. 173]. Dan pada bulan-bulan ini dilarang untuk mengadakan peperangan.

Menurut Sang Wali, disunnahkan berpuasa pada awal bulan dan akhir Rajab. Salah satu dalil yang diketengahkan ialah sabda nabi, “Barang siapa yang berpuasa pada awal bulan Rajab, maka Allah akan menghapus dosanya yang dilakukan selama enam puluh tahun, dan barang siapa yan berpuasa pada lima belas hari di bulan rajab, maka ia akan diringankan hisabnya oleh Allah, dan barang siapa yang berpuasa di hari ketiga puluh di bulan rajab, maka Allah tak akan menyiksanya” [H. 179].

Sedang bulan Sya’ban merupakan bulan turunya ampunan dan keridhaan Allah [H. 186]. Dan di akhir pembahasan tentang bulan Sya’ban, Sang Wali membahas tentang shalat nisfu Sya’ban. Menurutnya, ada seratus rakaat. Dan setiap rakaatnya membaca surat Al-Ikhlâsh sebanyak sepuluh kali. Shalat ini dinamai shalat kebajikan (shalât al-khair). Pandangan ini didasarkan pada tiga puluh sahabat nabi yang menyatakan, “Orang yang menjalankan shalat ini pada malam nisfu Sya’ban, akan dilihat Allah seratus kalipandangan, dan setiap pandangan-Nya akan mengabulkan tujuh puluh hajatnya, yang paling rendah ialah pemberian ampunan”. Sang Wali juga menyebutkan praktek ulama-ulama salaf yang biasa melakukan shalat ini secara berjamaah.

Demikianlah pandangan Syeikh Abd al-Qâdir al-Jîlânî secara umum yang ada dalam kitab al-Ghuniyyah jilid satu.
*Masykurudin Hafidz, Alumnus PP Mambaul Ma'arif Denanyar Jombang Jawa Timur


Tentang Buku
Judul : Al-Ghuniyyah bi Thâlibiy Tharîq al-Haq
Penulis : Syeikh Abd al-Qâdir al-Jîlânî al-Hasanî
Penerbit : Al-Maktabab asy-Sya’biyyah
Cet. : Tanpa tahun
Tebal : Jilid pertama 192 hlm, dan jilid kedua 200 hlm.




Sekilas Tentang Kitab Al-`Itiqad fi Al-Iqtishâd


Kitab Al-`Itiqad fi Al-Iqtishâd
Imam Ghazali nama lengkapnya ialah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali. Ia dilahirkan pada tahun 450 H, ada pendapat yang mengatakan dilahirkan tahun 451 H di Thâbirân, dan meninggal pada hari Senin 14 Jumadil Akhir 550 H.
Selama hidupnya, Al-Ghazali telah mengabdikan dirinya untuk ilmu dan mencari kebenaran. Dan sebagai penghormatan atas sumbangsih pemikiranya dalam ilmu agama umat Islam memberi gelar hujjatul Islam.

Intelektualitas Al-Ghazali dikalangan umat Islam tidak diragukan lagi sehingga bejibun karya telah lahir dari tangannya. Di antaranya ialah, Ihyâ` `Ulûm Ad-Dîn, sebuah buku yang berusaha mempertemukan kekakuan fikih dengan kelembutan tasawuf. Dan dari karya ini Al-Ghazali kemudian menjadi lebih dikenal sebagai seorang tokoh sufi ketimbang seorang ahli hukum fikih.

Padahal masih banyak karya lain yang dikalangan pesantren kurang mendapat perhatian, seperti Al-Mustashfâ, Faishal At-Tafriqah, Mahk An-Nazhar, Al-Qisthash Al-Muastqîm, Mi’yâr Al-‘Ilm,Mukâsyafah Al-Qulûb, Tahâfut Al-Falâsifah, Al-`Iqtishâd fi Al-`Itiqâd, Al-Munqidz min Adh-Dhalâl dan lainnya. Buku yang terakhir disebut adalah karya pamungkas Al-Ghazali sebelum beliau wafat.

Pikiran-pikiran Al-Ghazali dalam bidang akidah jarang disentuh terutama oleh kalangan pesantren meskipun hal itu tertuang dalam kitab Ihyâ-nya. Tetapi lagi-lagi kurang mendapat perhatian maksimal dari mereka. Akibatnya, mereka kurang mengenal pandangan teologinya. Patut untuk dicatat bahwa dalam wilayah akidah Al-Ghazali telah salah satu buku sangat menarik yang mencoba merumuskan keyakinan-keyakinan Ahl As-Sunnah wal Al-Jamâ`ah. Kitab itu diberi nama Al-`Iqtishâd fi Al-`Itiqâd (Pandangan Moderat dalam Berakidah).

Buku ini lahir sebagai respon teologis, pertama atas. kelompok Hasywiyyah. Dalam kaca mata Al-Ghazali pandangan teologi mereka telah mereduksi peran akal sehingga mereka memahami teks secara literal tanpa mau meggali kandungan makna lebih lanjut. Menurut Al-Ghazali hal ini disebabkan kelemahan akal dan pikiran mereka. Dan kedua, para filsuf dan pengikut Muktazilah, Al-Ghazali melihat bahwa mereka telah sewenang-wenang dalam menggunakan kemampuan akal sehingga berani menabrak ketentuan-ketentuan syara’ yang sudah ditetapkan secara pasti (qath’iy) [H. 8].

Karennya, menutur Al-Ghazali ketentuan-ketentuan akidah harus selalu mengedepankan moderatisme dan tetap berada di jalur yang benar [H. 8]. Artinya, peran syara' dan akal dalam persoalan akidah harus seimbang, tidak berat sebelah. Selanjutnya, Al-Ghazali mengumpamakan orang yang sudah merasa cukup dengan hanya berpegang pada petunjuk Al-Qur`an seperti orang yang memandang sinar matahari dengan mata terpejam. Jadi, dia tak ada bedanya dengan orang buta. Sebab akal dengan syara' ibarat cahaya di atas cahaya (nûr ‘alâ nûr) [H. 9].

Dalam buku ini terdapat empat pengantar dan empat bagian. Pengatar pertama menjelaskan bahwa memepelajari ilmu kalam itu sangat penting, Di dalam pengantar pertama ini, Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan dari ilmu ini ialah menghadirkan argumentasi-demonstratif atas eksistensi Allah, sifat dan perbuatan-Nya serta kebenaran Rasulullah Saw [H. 13].

Selajutnya pengantar kedua menegaskan meski mempelajari ilmu kalam sangat penting tetapi itu hanya untuk sebagian orang saja. [H. 14]. Pengantar ketiga merupakan penegasan dari pengatar kedua. Al-Ghazali menegaskan bahwa mendalami ilmu kalam merupakan kewajiban sosial (fardh kifâyah). Sebab, semua orang hanya wajib untuk membenarkan dan membersihkan hati dari keraguan dalam keberimanan. Sedang menghilangkan keraguan hanya menjadi kewajiban personal (fardh `ain) bagi orang yang tertimpa keraguan [H. 17].

Terakhir adalah pengantar keempat. Dalam pengantar keempat Al-Ghazali memaparkan metodelogi yang dipakai dalam buku ini. Kata Al-Ghazali, ada tiga metode yang digunakan.

Pertama, As-Sibr wa At-Taqsîm. Yaitu membatasi suatu persoalan dalam dua bagian kemudian salah satu dari bagian tersebut digugurkan. Misalnya, alam itu bisa temporer (hâdits) dan bisa eternal (qadîm) Tetapi mustahil alam itu eternal Karenanya dapat dipastikan bahwa alam itu temporer [H. 18-19]

Kedua, menggunakan metode qiyas hamli. Contohnya, setiap sesuatu yang tidak terlepas dari hal-hal baru adalah baru (premis mayor), sedang alam tidak tidak terlepas dari hal-hal baru (premis minor), karenanya, alam itu baru (kesimpulan) [H. 19].

Ketiga, menetapkan kemustahilan klaim atau pendapat lawan dengan menjelaskan bahwa pendapatnya menyebabkan hukum ketidakmungkinan. Contohnya, jika pendapat lawan yang mengatakan bahwa beredarnya galaksi (daurât al-falak) tak mengalami keberakhiran adalah benar, maka benarlah orang yang mengatakan bahwa sesuatu yang tak memiliki keberakhiran itu telah selesai, padahal ini tidak mungkin. Dari sini bisa dikatakan bahwa pendapat lawan itu mustahil. Sebab, sesuatu yang mengakibatkan hukum ketidakmungkinan adalah mustahil. [H. 19-20].

Demikianlah empat pengantar yang telah dipaparkan oleh Al-Ghazali dalam buku ini sebagai pintu masuk ke dalam empat bagian yang ada di dalamnya. Bagian pertama sampai ketiga membahas seputar dzat, sifat dan perbuatan Tuhan [H. 25-145], sedang bagian yang keempat terdiri dari empat bab [H. 145-182].

Bab pertama, penetapan kenabian Muhammad Saw. Pada bab ini, Al-Ghazali merasa perlu untuk menegaskan dan membela kenabian Muhammad Saw. Pembelaan ini diarahakan untuk menolak pandangan tiga sekte yang menurutnya telah menolak untuk mengakui kenabian Muhammad Saw. Pertama, sekte `Aisawiyyah, mereka berpendapat bahwa Muhammad Saw hanyalah utusan yang diperuntukan bagi bangasa Arab saja. Kedua, kelompok Yahudi yang tak sudi mengakui kebenaran Muhammad Saw, bahkan tidak cukup di situ saja mereka juga menolak kenabian Isa as. Sebab, menurut mereka tidak ada nabi setelah nabi Musa as. Jadi, menurut Al-Ghazali, tidak hanya kenabian Muhammad yang perlu dibela tetapi juga kenabian Isa as. Ketiga, kelompok orang-orang memperbolehkan adanya hukum naskh tapi menginkari kemukjizatan Muhammad Saw yang tertera di dalam Al-Qur`an [H. 145, 148].

Bab kedua, hal-hal yang terkait dengan akhirat yang diwartakan Rasulullah Saw, seperti, hari penggiringn seluruh makhluk di padang mahsyar, hari kebangkitan, siksa kubur, dan shirât, dan hari perhitungan setiap amal. Dalam menjelaskan hal-hal itu Al-Ghazali menggunakan dalil naqli dan aqli.

Bab ketiga, imamah dan syarat-syaratnya. Di bab ini Al-Ghazali tampak agak sungkan untuk menjelaskan permasalahan imamah. Sebab bagi Al-Ghazali persoalan imamah bukan termasuk hal yang krusial (an-nazhar fi al-imâmah laisa min al-muhimmât), tetapi ia adalah sumber fanatisme. Karenanya, menurut Al-Ghazali persoalan imamah lebih baik dihindari [H. 166-167]. Akibatnya, Al-Ghazali hanya menjelaskan sedikit konsep imamah. Pertama, kewajiban mengangkat seorang kepala negara (imam), kedua, orang yang berhak untuk dijadikan kepala negara, ketiga, bagiamana pandangan (akidah) ahl as-sunnah wa al-jamâ`ah terhadap sahabat dan khulafâ` ar-râsyidûn.

Bab keempat, menjelaskan batasan takfîr. Dalam bab ini Al-Ghazali menyatakan dengan tegas, bahwa menghalal darah dan harta orang yang masih menjalankan shalat menghadap ke ka’bah dan mengucapkan la ilaha illallah muhammad ar-rasûlullah adalah kesalahan besar. Dan kesalahan membiarkan orang kafir tetap hidup itu kebih ringan dari pada mengalirkan segelas darah orang muslim [H. 187].

Pernyataan Al-Ghazali di atas jelas sebagai peringatan kepada kita untuk tidak dengan mudah memberikan label kafir kepada orang yang kita anggap bersebrangan dengan kita. Sebab, hanya Allahlah yang paling mengetahui siapa yang kafir dan mukmin di antara kita. Sebagaimana yang ditegas dalam Al-Qur`an, Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk [QS. Al-An`âm: 117].

Tentang Buku

Judul : Al-`Iqtishad fi Al-I’tiqâd
Pengarang : Imam Al-Ghazali
Penerbit : Dâr al-Fikr, Bairut-Libanon
Cet./Tahun : Pertama, 1997 M
Tebal :184 halaman
Taisir al-Ijtihâd
Jumat, 08 Agustus 2008


Taisir al-Ijtihâd
Madzhab Syafi'i memiliki seorang intelektual besar dan disegani dalam dunia Islam. Yaitu Jalâl ad-Dîn Abd. ar-Rahmân as-Suyûthî, ia lahir di Kairo bulan Rajab 849 H dan meninggal 911 H. Sejak kecil ayahnya telah mengajarinya ilmu agama dan menyuruh untuk menghafalkan Al-Quran. Menginjak umur lima tahun sang ayah menghadap Sang Pencipta. Ia dijuluki Ibn al-Kutub, karena konon katanya ia lahir di atas tumpukkan buku.
Saat ayahnya meninggal si kecil Jalâl ad-Dîn as-Suyûthî baru hafal Al-Quran sampai surat At-Tahrîm. Tetapi karena kecerdasannya, tak sampai umur delapan tahun ia sudah selesai menghafal Al-Quran. As-Suyûthî belajar pada banyak ulama yang tekenal pada zamannya. Di antaranya ia belajar fikih pada ‘Alam ad-Dîn al-Balqînî dan tafsir pada Muhyî ad-Dîn al-Kâfîjî.

Dari tangannya lahir lebih dari tiga ratus buku. Sedang karya yang sampai pada kita di antaranya ialah; Tafsîr al-Jalâlain, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’an, Mu’tarak al-Aqrân, ad-Dur al-Mantsûr fi at-Tafsîr al-Ma`tsûr, Lubâb an-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl, al-Iklîl fi isthimbâth at-Tanjîl, al-Jâmi’al-Kabîr, al-Jâm’ ash-Shagîr, al-Asybâh wa an-Nadhâir, Taisir al-Ijtihâd, dan masih banyak karya lainnya.

Kitab yang disebut terakhir, yaitu Taisir al-Ijtihad merupakan sebuah buku kecil yang mengkupas tentang ijtihad. Ijtihad sebagaimana yang kita ketahui ialah mengerahkan segala kemampuan nalar untuk menghasilkan hukum Allah. Namun apakah setiap orang wajib melakukan ijtihad? Di sinilah as-Suyûthî tampil memberikan jawaban yang sangat memuaskan, bahwa ijtihad adalah kewajiban kolektif (fardh al-kifâyah). Jadi, ketika sudah ada orang yang melakukannya maka gugurlah kewajiban setiap orang.

Untuk mendukung pendapatnya as-Suyûthî menyebutkan beberapa pendapat ulama. Di antaranya pendapat az-Zarkasyî yang menyatakan bahwa ijtihad adalah kewajiban kolektif [H. 21].

Selanjutnya, as-Suyûthî menyatakan bahwa ijthad sangat penting karena realitas tak penah berhenti sedang teks itu berhenti. Karenanya, ijtihad harus selalu ada. Dan pada setiap generasi musti harus ada mujtahid. Untuk meneguhkan hal ini as-Suyûthî mengutip beberapa pendapat ulama. Di antaranya ialah pendapat para pengikut madzhab Hanafi yang menyatakan bahwa zaman tak pernah lekang dari seorang mujtahid muthlaq atau muqayyad. Sebab, Rasul bersabda, “Akan ada salah satu kelompok umatku yang selalu membela kebenaran sampai datangnya kiamat” [H. 25].

Dalam kacamata as-Suyûthî mujtahid ialah pembaharu agama. Pendapat ini ia sandarkan pada hadits nabi yang menyatkan, “Sungguh, setiap seratus tahus sekali Allah mengutus pada umat ini seorang yang memperbaharui agama mereka”.Tetapi menurutnya, tak harus satu orang yang diutus sebagai pembaharu pada satu masa, bisa jadi lebih. [H. 51]. Demikian pendapat para komentator hadits, sebagaiman yang dikutip oleh as-Suyûthî.

Dalam buku ini as-Suyûthî juga menjelaskan syarat-syarat ijtihad menurut para ulama. Seperti menurut asy-Syahrastanî, Rafi’i, Nawawî, al-Ghazali, Abu Manshûr at-Tamîmî. Dari semua persayaratan yang disebutkan oleh para ulama tersebut tak memasukan pengetahuan tentang teologi filsuf (ilmu kalam) sebagai ilmu yang musti dikuasi oleh seorang mujtahid [H. 31-38]. Bisa jadi, karena ilmu kalam termasuk yang dibenci oleh Imam Syafii, sedang dia adalah seorang penganut Madzhab Syafii, meski dalam ar-Risâlah-nya secara eksplisit kita bisa merasakan aroma teologi Syafii.

Setelah menyebutkan syarat-syarat ijtihad menurut para ulama, kemudian as-Suyûthî menjelaskan syarat ijtihad versi dirinya. Yaitu, seorang mujtahid harus menguasi pengetahuan tentang Al-Quran, sunnah, ushul fikih, ilmu bahasa, nahw, sharf, ma’ânî, bayân, badî’, pengetahuan tentang konsensus dan perbedaan, ilmu matematika, fiqh an-nafs, menguasi sebagian besar kaidah-kaidah syara’, dan ilmu akhlak [H. 39-41].

Sedang cara yang ditempuh untuk berijihad untuk menyelesaikan sebuah kasus ialah dengan mencari dalil dari Al-Quran, jika tak ditemukan maka harus dicari dalam sunnah. Dan bila sunnah juga masih tak memberikan jawaban atas kasus yang ada maka harus cari dalam ijmak. Dan jika tak ditemukan juga maka harus menggunakan qiyas. Inilah hirarki cara berijtihad yang ditawarkan oleh as-Suyûthî [H. 49-50].

Demikianlah secuil dari upaya as-Suyûthiî untuk selalu membuka pintu ijtihad dan menutup pintu taklid. Sebab, wahyu sudah tak turun lagi sdang realitas terus bergerak maju. Di sinilah kemampuan nalar kita musti digunakan untuk menghadapi realitas yang terus bergerak. Selamat berijtihad!!

(*) Mahbub Ma'afi, Alumni Sekolah Islam Salaf (SIS) Pondok Pesantren Girikusumo, Mranggen, Demak, Jawa Tengah

Tentang Buku
Judul : Taisir al-Ijtihâd
Penulis : Jalâl Abd ar-Rahmân as-Suyûthî
Penerbit : Al-Maktabah at-Tijâriyyah, Makkah al-Mukarramah
Editor : DR. Fuad Abd al-Mun’im Ahmad
Tebal : 84 hlm



Etika Santri Menurut al-Jarnuji
Senin, 25 Agustus 2008


Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum
Di lingkungan pesantren tradisional, yang menekankan pemahaman kitab-kitab salaf, seolah-olah kitab Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum (Mengajar Metode Belajar kepada Santri) merupakan kitab kedua sesudah al-Qur’an. Studi seorang santri dianggap belum memenuhi syarat apabila ia belum mengaji kitab ini. Dan karena isi dan penyajiannya sedemikian rupa, kitab tersebut sering disebut sebagai “Buku Petunjuk Menjadi Kyai”.
Sedang di kalangan pesantren-pesantren modern yang penekanan pemahaman terhadap kitab-kitab salaf agak kurang, kitab Ta’lim ini nyaris tidak populer, bahkan tidak kenal sama sekali. Dan agaknya pengaruh kitab ini yang sedikit membedakan “penampilan” antara alumnus pesantren tradisional dengan alumnus pesantren modern.

Di beberapa negara Timur Tengah, khususnya Saudi Arabia kitab ini juga tidak disebut-sebut. Namun usaha seorang Doktor lulusan Jerman (dulu: Jerman Barat) yang melakukan edit dan kritik terhadap kitab ini membuktikan bahwa kitab tersebut masih diperhatikan orang.

Siapa al-Jarnuji?
Kitab Ta’lim yang beredar di tanah air umumnya dicetak dengan syarah (komentar)nya yang ditulis Syeikh Ibrahim ibn Isma’il. Sedang kitab Ta’lim itu sendiri ditulis oleh Syeikh al-Jarnuji. Baik kitab Ta’lim maupun Syarah-nya tidak menyebut identitas al-Jarnuji. Hal ini cukup mempersulit kajian kitab tersebut, sehingga dapat diketahui bagaiamana keadaan pada waktu kitab itu ditulis dan sejauhmana hal itu mempengaruhi kitabnya.

Dalam al-Munjid nama al-Jarnuji disebut singkat sekali. Yang agak membantu hal ini adalah keterangan yang terdapat dalam kitab al-A’lam (Tokoh-tokoh) karangan al-Zarkeli. Ditulis di situ bahwa al-Jarnuji adalah al-Nu’man ibn Ibrahim ibn Khalil al-Jarnuji, Taj al-Din. Beliau adalah sastrawan (adib) yang berasal dari Bukhara. Semula berasal dari Zarnuj, suatu kawasan di negeri-negeri seberang sungai Tigris (ma wara`a al-nahr). Beliau antara lain menulis kitab al-Muwadhdhah Syarh al-Maqamat al-Haririyah, dan wafat pada tahun 630 H/ 1242 M.

Al-Zarkeli tidak menuturkan di mana al-Jarnuji tinggal, namun secara umum al-Jarnuji hidup pada akhir periode Daulah Abbasiyah, sebab Khalifah Abbasiyah terakhir (al-Mu’tashim) wafat pada tahun 1258 M. Ada kemungkinan beliau tinggal di kawasan Irak-Iran, sebab beliau juga mengetahui syair-syair Parsi di samping banyaknya contoh-contoh peristiwa pada masa Abbasiyah yang beliau tuturkan dalam kitabnya.

Etika Santri
Kitab kecil, yang juga disebut Risalah (surat) ini, oleh pengarangnya dimaksudkan sebagai buku petunjuk tentang metode belajar bagi santri, seperti tersembul dari judulnya. Namun apabila dikaji isinya, metode belajar yang dimaksud sangat sedikit. Di antara 14 bab yang terdapat kitab ini (istilah kitabnya, fashl) hanya satu bab saja yang membahas metode belajar. Selebihnya membahas tentang keutamaan ilmu, motivasi belajar, memilih ilmu, guru, dan kawan, memuliakan ilmu dan ulama, dan lain-lain. Bahkan membahas hal-hal yang dianggap dapat mempercepat rizki, karena belajar tak pelak lagi memerlukan hal itu.

Karenanya, kitab ini cenderung lebih tepat disebut sebagai kitab yang membahas etika santri, khususnya kepada guru-gurunya, dibanding sebagai kitab tentang metode belajar. Dan agaknya, bagian inilah yang paling banyak mempunyai dampak. Di lingkungan pesantren, santri yang tidak sopan terhadap guru, ia akan segera dicap “tidak pernah mengaji kitab Ta’lim”, tetapi santri yang bodoh yang boleh jadi belum atau tidak mempraktekan isi kitab tersebut, cap itu tidak akan disandanganya. Dan karena pengarangnya seorang santrawan, maka petuah-petuah untuk itu juga banyak diambil dari syair-syair Arab.

Namun persoalaannya tidak berhenti sampai di situ, al-Jarnuji menyebut kitabnya sebagai metode belajar, sedangkan kajiannya banyak membahas etika. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah etika itu sendiri merupakan salah satu metode untuk meraih ilmu? Tampaknya di kalangan pesantren ada kecenderungan untuk menyebutkan bahwa etika santri, terutama kepada gurunya, merupakan salah satu perangkat untuk memperoleh ilmu. Kisah-kisah santri yang pada waktu nyantrinya menjadi khadam (pembantu) kyai, menjadi tukang ambil air, dan lain-lain, tiba-tiba setelah pulang muncul sebagai kyai yang alim, adalah cerita yang sangat populer di kalangan pesantren semata-mata karena keluhuran spiritual seorang kyai atau pendiri pesantren tersebut. Baginya masalah metode belajar tidak menjadi soal, yang penting setelah sekian lama menyantri kelak akan muncul sebagai kyai yang alim, berkat ‘barakah’ dari kyai tersebut.

Kecendungan ini masih sangat berpengaruh di masyarakat. Tak heran kalau tokoh pesantren seperti H.M. Yusuf Hasyim, Pengasuh Pesantren Tebuireng, membuat istilah adanya “lembaga Barakah” di pesantren, ketika santri belajar hanya semata-mata mengharapkan barakah dari kyai atau pendiri pesantren.

Adanya barakah sebenarnya tidak perlu dipersoalkan, sebab pengertian barakah adalah kebaikan atau manfaat yang berkembang. Dan dalam hal ini, hasil doa para kyai dan guru untuk para santrinya dapat disebut barakah. Hanya harapan santri untuk memperoleh barakah hendaknya tidak mengurangi usahanya dalam belajar secara lahiriah. Dengan demikian, santri dalam satu saat harus menyatukan antara usaha (ikhtiar) dan doa.

Menjadi Budak Guru?
Salah satu bagian dari petuah-petuah kitab ini —dan ini yang paling berpengaruh seperti dituturkan di muka— adalah keharusan seorang santri untuk menghormati gurunya, begitu pula orang-orang yang mempunyai pertalian darah dengannya, seperti puteranya dan lain-lain. Khusus untuk menghormati guru, al-Jarnuji menyitir ucapan Sayidina Ali, “ana ‘abdu man ‘allamani harfan, in sya`a ba’a, wa in sya`a a’taqa wa in sya’a istaqarra” (Saya adalah hamba orang yang pernah mengajarkan satu huruf kepada saya, apabila ia mau boleh menjualku, memerdekakanku, atau tetap memperbudakku). Al-Jarnuji juga menuturkan beberapa cara menghormati guru, antara lain santri tidak diperkenankan berjalan di hadapan guru, tidak diperkenankan duduk di tempat duduknya, tidak boleh mendahului berbicara tanpa izinnya. Tidak boleh banyak berbicara dengannya, tidak boleh menanyakan hal-hal yang gurunya sudah jenuh, tidak boleh mengetuk pintunya tetapi mesti menunggu sampai keluar sendiri. Walhasil, santri harus selalu mencari kerelaan gurunya (tidak menyakiti hatinya) dan mematuhi segala perintahnya, sepanjang hal itu bukan ma’siat.

Keterangan inilah, agaknya, yang menimbulkan persepsi penyerahan total seorang santri kepada gurunya. Apalagi bila diingat adanya bayang-bayang, ilmunya tidak akan bermanfaat apabila ia pernah berbeda pendapat (I’tiradh) dengan gurunya atau pernah menyakiti hatinya. Persepsi ini, meski mempunyai nilai positif, namun tak urung menimbulkan dampak yang kurang diinginkan. Sebab, santri harus bersikap menerima tanpa berani bersikap kritis.

Al-Jarnuji memang tidak memberikan rincian tentang masalah-masalah apa yang bisa menyakiti guru itu. Barang kali karena tidak adanya rincian ini menjadikan hal itu diberlakukan secara umum. Dan anehnya, meskipun hal itu hanya dibahas dalam rangka belajar, namun implementasinya justru tampak di luar itu. Persepsi ‘apa kata guru dan murid harus menerimanya’ sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat secara luas.

Keharusan memperoleh kerelaan guru nampak sangar relatif, apalagi bila hal itu dihubungkan dengan masalah interpretasi. Ternyata al-Jarnuji tidak menuturkan satu dalil pun petuahnya itu, selain ucapan Sayidina Ali serta sejumlah syair.

Dalam kaitannya dengan tradisi keilmuan, apabila kita tengok masa-masa jauh sebelum al-Jarnuji, misalnya periode imam-imam penegak madzhab, kita dapat memperoleh gambaran bahwa mereka tidak selamanya sependapat dengan gurunya. Bahkan, di antara mereka ada yang mendirikan madzhab sendiri, terpisah dari madzhab gurunya. Jauh sebelum itu, Umar ibn Khathab pernah juga diprotes oleh seorang wanita yang juga sebagai muridnya. Bila petuah al-Jarnuji di atas menjadi kriteria, sebenarnya gurulah yang sebenarnya elastis dalam mengkonotasikan kerelaannya. Sebab, boleh jadi seorang guru merasa tersinggung (tidak rela) apabila muridnya berbeda pendapat dengannya, sedangkan guru lain justru merasa bangga, bakan mendorong apabila muridnya berpendapat lain selama hal itu berdasarkan argumen yang kuat.

Tentang bayangan bahwa ilmu seorang santri tidak akan bermanfaat apabila ia pernah menyakiti hati gurunya, juga perlu direnungkan kembali. Apakah batasan manfaat dan dalam hal apa murid tidak diperkenankan sama sekali menyakiti hati gurunya. Sebab, ternyata banyak murid yang sewaktu belajar pernah melakukan ‘unjuk rasa’ terhadap gurunya, namun setelah terjun di masyarakat ia justru menjadi ulama besar.

Ushul Fiqih, Menerobos Taklid
Kepatuhan mutlak seperti tersebut di atas umumnya terdapat di kalangan murid atau santri tingkat Tsanawiyah ke bawah. Mereka yang sudah menginjakkan kakinya di tingkat Aliyah, apalagi di perguruan tinggi, keadaan di atas memperoleh bentuk yang lain. Masalahnya bukan karena mereka tidak lagi patuh kepada gurunya, melainkan pada tingkat tersebut usaha penalaran mulai dikembangkan. Pada tingat Aliyah, misalnya, murid tidak lagi sekedar menerima pelajaran yang sudah mapan seperti fiqh dan lain sebagainya, tetapi dikenalkan pula sumber-sumber atau dalil-dalil pelajaran itu. Di sini santri mulai mengenal proses terbentuknya fiqh, yang kenal dengan ‘ushul fiqh’. Karena tujuan ushul fiqh adalah mengkaji sumber dan cara pengambilan hukum, maka secara praktis ia menghendaki agar manusia tidak bersikap taklid (menerima apa adanya tanpa mengetahui sumbernya). Disinilah murid mulai berani mempertanyakan keabsahan suatu hukum kepada gurunya, tanpa meninggalkan penghormatan kepadanya. Umumnya, pada tingkat ini guru cukup menghargai sikap murid-murid yang demikian. Biasanya keadaan ini didukung pula oleh sistem pengajian yang individual (sorogan) atau klasikal.

Karenanya, dapat dimaklumi apabila murid-murid pesantren yang menerapkan sistem klasikal dan individual ini lebih mencerminkan kelonggaran berfikir dari pada murid-murid pesantren yang menerapkan sistem pengajian bandongan (massal). Murid-murid pesantren tipe pertama akan mengatakan apa kata dalil dan bagaimana memprosesnya menjadi suatu hukum, sedang murid-murid pesantren tipe kedua lebih cenderung mengatakan apa kata guru atau apa kata kyai.

Keseimbangan (Tawazun)
Kitan Ta’lim karangan al-Jarnuji ini lebih tepat disebut sebagai kitab yang membahas etika santri, terutama terhadap gurunya, dari pada sebagai kitab metode, kecuali apabila kita sependapat bahwa etika itu sendiri merupakan metode. Namun etika yang dimaksud oleh kitab ini lebih banyak diwarnai oleh keadaan pada waktu kitab tersebut ditulis, seperti dapat dilihat dari banyaknya contoh-contoh yang bersifat lokal.

Tanpa mengurangi etika yang hendak ditanamkan oleh al-Jarnuji, sesudah mengkaji kitab ini seyogyanya murid melanjutkan kajiannya tentang kitab-kitab ushul fiqh. Dengan demikian murid dapat memiliki kelebihan ganda, kemampuan berfikir longgar dan etika yang terpuji. Kedua kelebihan ini perlu diwujudkan secara berimbang (tawazun), sebab sikap kritis yang tidak diimbangi dengan etika akan merepotkan para guru dan pengelola pendidikan, sedang keluhuran etika tanpa dibarengi dengan sikap kritis sering menimbulkan ‘lelucon’. Guru yang didemonstrasi muridnya merupakan contoh keadaan pertama, dan seorang murid yang mencium tangan tamu non muslim yang datang ke sekolahnya merupakan contoh untuk keadaan kedua. (amy)

Tentang Buku
Judul : Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum
Penulis : al-Nu’man ibn Ibrahim al-Khalil al-Jarnuji
Penerbit : Dar al-Kutub al-Islamiyyah
Tebal : 96 hlm.





Buku-Buku Wacana

Berikut ini buku-buku yang pantas anda pertimbangkan untuk dibeli dan dibaca:

Buku Kontemporer

· Obat Hati I; Ringkasan Ihya Ulumiddin, Saduran Ceramah Habib Umar bin Hafidz

obat_hati_bJudul buku:Obat Hati I; Ringkasan Ihya Ulumiddin, Saduran Ceramah Habib Umar bin Hafidz
Penyadur: Ustadz Naufal (Novel) Bin Muhammad Al-Aidarus
Penerbit:Taman Ilmu
Cetakan: I, Muharram 1430 / Januari 2009
Tebal: xxv + 162 Halaman
Peresensi: Khanan Rifa’ul Kasbi

Kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali rahimahullah tidak diragukan memiliki pengaruh besar dalam membantu upaya penyucian hati. Alhamdulillah, dalam berbagai ceramahnya, Habib Umar bin Hafidz telah merangkumkan ringkasan kitab tersebut yang beliau beri judul Iqtibbasul anwar Minal Ihya. Kendati belum dibukukan, Ustadz Novel AlAidarus sudah mencoba merangkumkannya kedalam buku Obat Hati (1 dan 2) ini.

Semoga Nasihat dan kalimat hikmah yang ada dalam buku ini dapat mengobati ruhani Muslimin yang sedang sakit.

· Menggapai Ridho Allah: Dengan Sebuah Kajian Akhlak Praktis

Oleh: Al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz
Penerbit: Nurani Harga: Rp 35.000

Perbaikan akhlaq merupakan salah satu tujuan utama diutusnya Baginda Nabi Muhammad SAW. Dengan akhlaq itulah manusia hidup dengan damai di muka bumi dan meraih kebahagiaan abadi setelah menghadap Allah SWT di akhirat nanti.

Lebih dari itu, akhlaq Islami merupakan satu-satunya solusi dalam menyelesaikan berbagai problematik hidup. Mulai dari yang bersifat pribadi, keluarga, kemasyarakatan, hingga masalah kenegaraan. Apalagi di zaman seperti sekarang, krisis moral telah menjadi wabah yang memprihatinkan pada semua elemen bangsa. Mulai dari mereka yang mengatasnamakan dirinya sebagai ulama, tokoh masyarakat, pejabat, akademisi, pedagang, hingga rakyat jelata yang hidup dalam status sosial dan ekonomi terbawah sekalipun.

Buku ini hadir sebagai salah satu upaya dalam memenuhi kebutuhan manusia, khususnya umat Islam, dalam memperbaiki akhlaqnya, baik pada dirinya sendiri, pada orang lain, maupun hubungan kita sebagai hamba dengan Allah SWT.

Dan istimewanya, buku ini ditulis oleh ulama besar berkaliber internasional yang berasal dari Hadhramaut, Yaman, yakni Al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz, yang namanya sudah dikenal oleh sebagian rakyat Indonesia. Ia adalah pendiri dan pengasuh Darul Musthafa Islamic Education di Tarim, Hadhramaut.

Apa pun profesi dan status sosial Anda, buku ini layak dibaca, terutama bagi yang mendambakan kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat.

· Habib Umar bin Hafidz Singa Podium

Adda’i ilallah Al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz bin Syaikh Abubakar bin Salim dikenal memiliki kelebihan dalam menyampaikan nasihat-nasihatnya, sehingga menyentuh hati orang yang mendengarkannya. Dalam setiap ceramahnya ia selalu mengingatkan jama’ah agar selalu memegang teguh dan meneladani ajaran yang disampaikan Rasulullah SAW dan para salafush shalih.

Sosoknya tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Pondok Pesantren Darul Musthafa, yang didirikannya di Tarim, Hadhramaut. Pesantren ini telah melahirkan dai-dai muda yang menyebar di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Buku ini dilengkapi 118 foto eksklusif. Mutiara nasihat yang terkandung dalam buku ini, insya Allah, akan menyejukkan hati siapa pun yang membacanya


Oleh Abdul Qadir Umar Mauladdawilah dan Abdul Qadir Ahmad

Mauladdawilah

Penerbit: Karisma Publishing

Harga: Rp 25.000

· Permasalahan Thariqah: Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jatman 1957-2005

Orang yang telah berbai’at thariqah mempunyai kewajiban untuk menjalani amalan-amalan thariqah tersebut. Tapi bagaimana dengan anak kecil yang belum mukallaf tetapi telah dibai’at. Apakah ia wajib menjalankan amalan-amalan thariqahnya, dan apa hukumnya bagi orang yang telah membai’atnya?Bagaimana pula hukumnya mubaya’ah (mempelajari) dzikir lewat mimpi? Bolehkah?

Masih banyak lagi pertanyaan lain yang dijawab oleh para ahli thariqah dalam muktamar Jatman sejak tahun 1957 hingga 2005. Terhitung ada sekitar 214 pertanyaan atau permasalahan, termasuk jawaban atas tudingan beberapa kalangan yang menghukumi bid’ah bahkan sesat sebagian amalan thariqah mu’tabarah.

Insya Allah, sesudah membaca buku yang memuat hasil kesepakatan muktamar dan musyawarah besar Jatman ini, muncul sebuah pengertian bahwa ahli thariqah tidak ceroboh dalam menghukumi sebuah amalan serta masalah keagamaan, apalagi sampai menghalalkan sesuatu yang sudah jelas keharamannya.

· Pelecehan terhadap Amaliah Warga NU

Judul Buku: Membongkar Kebohongan Buku; Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik (H. Mahrus Ali)

Penulis: Tim Bahtsul Masail PCNU Jember

Penerbit: Khalista Surabaya

Cetakan: I, Januari 2008

Tebal: xi+ 254 halaman

Peresensi: Ach. Tirmidzi Munahwan

Buku yang berjudul "Membongkar Kebohongan Buku; Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir" ini, merupakan jawaban dari buku yang ditulis H Mahrus Ali yang berjudul, "Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik". Tulisan Mahrus, ternyata mempunyai banyak kejanggalan dan kebohongan, bahkan meresahkan kaum muslimin, khususnya bagi warga Nahdliyyin (sebutan untuk warga NU). Tim Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Cabang NU Jember merasa bertanggung jawab untuk meluruskan adanya kejanggalan dan kebohongan buku tersebut.

· Oase Kesejukan Pesan Cinta Nabi Muhammad

Judul: Muhammad’s Love Message

Penulis: KH Saifuddin Mujtaba

Penerbit: Pustaka Marwa

Cetakan: I. 2007

Tebal: 167 hlm
Peresensi: Juma’ Darma Poetra

Maulid Nabi, dengan berbagai kompleksitas problematika kehidupan yang menjerat manusia, terus bergulir seiring perputaran roda zaman, hal ini sering kali memenjarakan manusia pada kebingungan yang tak terhingga. Modernitas adalah kemenangan rasionalitas, tapi tidak intuitif dan rohaniah, manusia berada dalam kegersangan spiritual dan kekeringan rohani yang kronis. Hal ini terbukti sampai saat ini kesempurnaan yang dijanjikan modernitas masih berupa buih yang diterjang ganasnya gelombang samudera. Malah, secara de facto, dewasa ini orang-orang Barat, sebagai orang yang pertama kali memproklamirkan kebebasan akal dan menjadikannya sebagai satu-satunya ukuran kebenaran, telah berbondong-bondong menyunting doktrin yang dulu pernah mereka cela sebagai ajaran yang jumud dan kaku. Manusia semakin diliputi kebingungan. Renaisans sebagai abad pencerahan manusia ternyata hanyalah sabda tak bertuan dan bertuhan yang cenderung menyesatkan.

· Membangun Rumah Tangga Sakinah

Hidup dalam bahtera rumah tangga kadang memang seperti benar-benar berada di atas bahtera. Menikmati panorama samudera biru dengan belaian manja anginnya yang semilir, lambaian lembut ombaknya yang mempesona, kegirangan ragam ikannya, serta berjuta keindahan lain yang kadang hanya bisa dirasa tapi sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Namun ceritanya akan berbeda jika suatu ketika keindahan panorama alam tadi bersembunyi di balik pekatnya cuaca, sehingga yang menyambut bahtera adalah warna alam yang tidak cerah dan tidak ramah.

Di tengah keadaan seperti itu, kadang seseorang tidak sempat berpikir panjang, dan melompat begitu saja dari bahteranya.

Padahal, semuanya tergantung pada bagaimana kita mengelola keadaan tersebut secara arif. Nah, buku ini berisi panduan praktis dan juga strategi yang baik dalam menghadapi ragam kemelut bahtera rumah tangga.

Penulis: M. Syamsul Arifin Abu

Penerbit: Pustaka Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur

Harga: Rp 32.500

· Kitab Agung Ar-Risalah Targhib wa Tarhib: Anjuran dan Peringatan dari Al-Quran dan Sunnah

Bagi yang merasa kehilangan jejak para salafush shaleh dalam menapaki jalan menuju cahaya Allah Ta’ala, atau bagi yang merasakan betapa hidayah Allah makin menjauh, buku ini bisa memberikan secercah harapan. Di dalamnya terangkum jejak-jejak Rasulullah SAW hingga para imam dan wali, seperti Imam Tsauri dan Imam Al-Ghazali, yang akan membantu kita menemukan kembali jalan menuju cinta-Nya.

Salah satu mutiara dalam buku ini adalah, “Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah, Allah akan memberikan ganti kepadanya. Seperti ketika Nabi Sulaiman AS menyembelih keledainya karena Allah SWT, karena keledai tersebut menyibukkannya dari mengingat Allah Ta’ala, maka Allah pun menggantinya denagn menundukkan angin dan jin untuknya.

Juga ketika para wali Allah SWT merasa haus dalam puasa mereka, maka Allah mengganjar mereka dengan mempersilakan mereka memasuki surga melalui sebuah pintu khusus bagi mereka, yaitu Rayyan.”

Penulis: Khalid Ahmad Abu Syadi
Penerbit: Sahara Publishers, Jakarta
Harga: Rp. 47.000,-

· Mengenal 17 Habaib yang Berpengaruh di Indonesia

Judul Buku:

17 Habaib Berpengaruh di Indonesia

Penyusun:

Habib Abdul Qadir Umar Mauladawilah

Editor: Ernaz Siswanto, S.Pd

Penerbit: Pustaka Bayan

Cetakan: I, Oktober 2008 sd. V, Maret 2009

(edisi Revisi keempat)

Tebal: xii+ 279 halaman

Buku ini berisi tentang biografi dan peranan para ulama dzuriyat Rasulullah dari periode Al-Habib Husein bin Abubakar Al-Aydrus yang dikenal dengan sebutan Habib Keramat Luar Batang, hingga As-Sayid Muhammad bin Alawi bin AlMaliki Al-Hasani.

Mereka semua memiliki jasa yang sangat besar dalam menanamkan nilai-nilai keislaman di nusantara ini. Tentunya masih banyak lagi para ulama yang memiliki peranan dalam dakwah Islamiyah di Indonesia.

Buku ini menjadi unik dan berbeda dengan buku lainnya karena di dalamnya dilengkapi dengan 265 foto eksklusif. Sedang penyusunnya sendiri dikenal sebagai dokumentator yang memiliki ribuan foto ulama dan habaib yang langka dan sulit ditemukan di tempat lainnya.

Bagi para pembaca, buku ini memberikan kesejukan hati dan jiwa, karena di dalamnya terdapat kisah dan tauladan kaum shalihin, yang dengan derajat ketaqwaaannya kepada Allah mereka mampu mencapai derajat yang tinggi.


· Salaf Yang Sebenarnya

Ilmu merupakan perbendaharaan, kuncinya adalah bertanya, karena itu bertanyalah, semoga Allah melimpahkan rahmat kepada kalian. Sehubungan dengan masalah ilmu ini ada empat orang yang memperoleh pahala, yaitu: orang yang bertanya, orang yang mengajarkan, orang yang mendengarkan dan orang yang mencintai ketiga-tiganya. (HR Abu Nu’aim dari Sayyidina Ali kwh)

Bertanya adalah kunci untuk memahami rahasia-rahasia ilmu dan menyingkap kegaiban yang tersimpan dalam hati. Sebagaimana harta benda di rumah yang tidak bisa diambil kecuali dengan kunci, begitu pula ilmu kaum ulama dan ‘arifin, tidak akan dapat dipelajari dan diambil manfaatnya kecuali dengan mengajukan pertanyaan dengan jujur, dengan keinginan yang kuat, dan dengan adab yang baik. (Sayid ‘Abdullah bin Alwi Al-Haddad ra)

Oleh Naufal (Novel) Muhammad Al-‘Aidarus

Penerbit: Taman Ilmu Harga: Rp 30.000

· Pergolakan Islam dalam Tradisi Jawa

Judul Buku: Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa
Penulis: Ahmad Khalil, MFilI
Penerbit: UIN-Malang Press
Cetakan I: Mei 2008
Tebal: xv + 344
Peresensi: Abdul Halim Fathani

Salah satu ciri utama yang dimiliki masyarakat Indonesia adalah keragaman budaya. Dari zaman kerajaan sampai dewasa ini, keragaman itu masih tetap “kokoh”, bahkan terus bertambah. Indonesia merupakan salah satu tempat bersinggungan berbagai macam budaya dan agama. Proses asimilasi atau akulturasi sering nampak dalam gerak-gerak praktis nuansa kehidupan yang ada di dalamnya, misal, budaya Islam Jawa.

· Menumbuhkan Cinta Anak-Anak pada Al-Quran

Judul Buku: I Love My Al-Quran
(Cara Pahami Qur'an Sedari Dini)
Penerbit: Pelangi Mizan*
Cetakan: Kedua, Juni 2008
Peresensi: Fitra Sukrita**

*Info produk I Love My Al-Quran: www.bukuspesial.com
Hubungi Fitra sukrita 0818647776


Penerbitan I Love My Al-Quran (ILMA) dilatarbelakangi oleh sebuah riset kecil mengenai kondisi dan kebutuhan masyarakat saat ini. Generasi muda ‘diserang’ berbagai media yang menarik, termasuk di dalamnya media-media yang tidak konstruktif. Hal itu dapat membuat mereka tidak tertarik untuk mempelajari Al-Quran sehingga diperlukan sebuah tindakan untuk mengantisipasinya.

· “Ngalap Berkah”, Tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah yang sering Dianggap Bid’ah

Judul Buku: Tabarruk Ceraplah Berkah dari Nabi dan Orang Saleh
Penulis: Prof Shobah Ali Al-Bayati
Penerbit: Pustaka IIMaN, Depok*
Cetakan: Pertama, April 2008
Tebal: 190 Halaman
Harga: Rp 30.000,-
Peresensi: Muhtamarukin SP**

Beberapa kelompok atau organisasi Islam yang muncul belakangan melakukan serangan bertubi-tubi terhadap praktik tabarruk atau mencari berkah atau barokah, yakni mencari kebaikan dengan pelantaraaan Rasulullah dan peninggalan-peninggalannya, juga mencari berkah kepada orang-orang salih dan peninggalan-peninggalan mereka. Mereka mengatakan bahwa praktik tabarruk adalah bid’ah atau perbuatan yang mengada-ngada yang dihukumi sesat dalam Islam.

· Ajaran Keteladanan KH Badri Masduqi

Judul Buku: KH Badri Masduqi
Penulis: Saifullah
Penerbit: Pustaka Pesantren-LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, April 2008
Tebal: vi +290 halaman.
Peresensi: Ahmad Hasan MS


Almarhum KH Badri Masduqi merupakan ulama kharismatik yang memiliki jangkauan luas dari berbagai bidang kehidupan. Wajar bila KH Tauhidullah Badri, dalam kata pengantar buku ini, mengatakan bahwa KH Badri Masduqi adalah sosok multidimensi yang memiliki beragam aktivitas mulai dari pengasuh Pondok Badridduja, Dosen Ma’had Aly serta pemimpin Thariqah Tijaniyah di Indonesia. Semasa hidupnya Almarhum Masduqi rajin mengisi di berbagai forum pengajian, seminar, bahtsul masail hingga menerima tamu dari berbagai masyarakat yang berkunjung ke rumahnya.

· Membaca Politik Islam Indonesia Kontemporer

Judul: Pemikiran Politik Islam Indonesia; Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani, dan Demokrasi
Penulis: Syarifuddin Jurdi
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: I Juli 2008
Tebal: xxi + 677 halaman (termasuk indeks)
Peresensi: Karuni Ayu Sawitri

Transisi demokrasi Indonesia pascareformasi mengubah wajah perpolitikan Indonesia. Kondisi negara yang tidak karuan menuntut berbagai pihak merasa perlu untuk mendesakkan demokrasi, kebebasan, transparansi, akutanbilitas publik, atas persoalan-persoalan bangsa, berkaitan dengan seluruh tananan masyarakat. Tak ayal pertentangan dan konflik sosial terus terjadi. Berbagai kepentingan, baik yang mendasari atas nama bangsa dan kelompok tertentu, juga ikut mewarnai.

· Konsep Jiwa dalam Pandangan Al-Ghazali
Judul Buku: Psikologi Sufi Al-Ghazali
Penulis: Dr Ahmad Ali Riyadi M.Ag
Penerbit: Panji Pustaka, Yogyakarta
Cetakan I: Mei 2008
Tebal: 126 Halaman
Peresensi: Wusthol Bachrie


Dalam sejarah pemikiran filsafat dan keagamaan Islam Al-Ghazali menempati kedudukan yang sangat unik, karena pertimbangan kedalaman pengetahuannya, orisinilitas, dan pengaruh pemikirannya. Sehingga ia dijuluki the proof of Islam (hujjat al-Islam), the ornament of faith (zain al-din), dan the renewer of religion (mujaddid). Juga dalam dirinya terkumpul hampir semua jenis pemikiran dari berbagai gerakan intelektual dan keagamaan. Maka, tidaklah mengherankan jika ia terkenal sebagai seorang pakar dalam berbagai disiplin ilmu seperti teologi, fikih, filsafat, dan tasawuf.

· Fatwa, Mengatasi Realitas Tak Terbatas

Judul: Fatwa dalam Sistem Hukum Islam
Penulis: KH Ma’ruf Amin
Penerbit: eLSAS, Jakarta*
Jumlah Halaman: xiii + 383 halaman
Harga: Rp 59.000
Peresensi: Muhtamarukin**


Al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam sengaja didesain untuk menjelaskan persoalan-persoalan secara global. Sebab, jika dijelaskan secara rinci, bisa jadi Al-Quran kehilangan relevansinya di tengah-tengah masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan dari masa ke masa. Sementara, untuk merinci dan memberikan petunjuk pelaksanaan suatu ajaran (hukum), inilah tugas Rasulullah untuk menjelaskannya dengan ucapan, perbuatan, dan penetapannya, yang kemudian kita sebut sebagai Hadits atau Sunnah Nabi.

· Fatwa untuk Kopi dan Rokok

Judul buku: Kitab Kopi dan Rokok
Penulis: Syaikh Ihsan Jampes
Penerbit: Pustaka Pesantren Yogyakarta
Cetakan: 1, Februari 2009
Tebal: xxv + 110 halaman
Peresensi: Muhammadun AS

Salah satu hasil konsensus Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (KF-MUI) di Padang Panjang, Sumatera Barat, akhir Januari 2009 lalu adalah fatwa tentang hukum haramnya merokok bagi anak-anak, wanita hamil, dan pengurus MUI sendiri. Pro-kontra menyelimuti fatwa kontriversial tersebut, terlebih daerah yang menjadi tempat tembakau berkembang biak dan tempat di mana perusahan rokok berdiri.

· Memproklamirkan ‘Ahlussunnah wal Bidah Hasanah’

Judul: Ahlussunnah wal Bidah Hasanah
Penulis: Tim Jurnal Kalimah
Penerbit: Lesbumi Yogyakarta
Cetakan: Mei 2008
Tebal: 169 halaman
Peresensi: A Khoirul Anam

Kalangan Nahdliyin (warga organisasi Nahdlatul Ulama/NU), juga para kiai dan santri di pondok pesantren sering dihadapkan dengan gugatan kelompok yang menamakan diri ‘kelompok pemurnian Islam’ atau ‘kelompok modernis’. Mereka yang muncul belakangan ini ‘berteriak-teriak’ mengharamkan alias mencap sesat beberapa ritual peribadatan (ubudiyah) yang sudah lama dijalankan semenjak Islam pertama kali berkembang di Nusantara, seperti tahlilan, ziarah kubur, selamatan, selawat Nabi, perayaan Maulid Nabi, dan masih banyak lagi yang lainnya.

· Polemik Kebudayaan Lesbumi


Judul: Lesbumi Strategi Politik Kebudayaan
Penulis: Choirotun Chisaan
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: 1 (Maret) 2008
Tebal: 247+XVI Halaman
Peresensi: Matroni

Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) merupakan lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan politik seperti partai Nahdlatul Ulama (NU) saat organisasi itu menjadi partai politik pada 1960-an.

· NU dan Tantangan Menjelang Satu Abad

Judul: NU dan Neoliberalisme, Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad
Penulis: Nur Khalik Ridwan
Editor: F. Mustafid
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: I, Februari 2008
Tebal: xx+204 halaman
Peresensi: Noviana Herliyanti

Nahdlatul ulama (NU), adalah organisasi sosial keagamaan yang didirikan pada 31 Januari 1926 (16 Radjab 1344 H) oleh sejumlah kiai (ulama) di Surabaya, Jawa Timur. Organisasi ini sudah memberikan kontribusi dan perubahan yang besar pada negara, khususnya umat Islam di seluruh pelosok Tanah Air. Promotor berdirinya, KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH Ridwan, KH Nawawi, KH Doromuntaha (menantu KH Cholil Bangkalan). Pendiri utamanya adalah, Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari.

· Kiai Ihsan: Tokoh Intelektual-Spiritual Islam

Judul Buku: Jejak Spiritual Kiai Jampes
Penulis: Murtadho Hadi
Penerbit: Pustaka Pesantren, LKiS Yogyakarta
Cetakan: I, Januari 2008
Tebal: xii + 76 halaman
Peresensi: Anwar Nuris

Konon, banyak ulama dan pakar bahasa Arab, termasuk ulama Al-Azhar (Mesir), yang tidak segera percaya saat mereka tahu bahwa pengarang kitab Amtsilatut Tashrifiyyah adalah KH Makshum Ali dari Jombang, Indonesia, yang dimaklumi tidak menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa ibu. Kitab Ilmu Tashrif (konjugasi) ini terkenal karena dapat menjelaskan proses bentukan kata dan tata matra (wazan) secara ringkas.

· Al-Quran sebagai Fundamen Toleransi

Judul buku: Al-Quran, Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme
Penulis: Zuhairi Misrawi
Pengantar: Abdurrahman Wahid & A. Syafi'i Ma'arif
Penerbit: Fitrah Jakarta
Cetakan: 1, 2008
Tebal: xxxiii + 526 halaman
Peresensi: Muhammadun A.S.

Hubungan antaragama dalam dua dekade tarakhir, khususnya pasca Tragedi 11 September 2001, masih dicekam berbagai tragedi berdarah yang terus melayangkan nyawa manusia tak berdosa. Tragedi demi tragedi terus menyeruak di belahan dunia. Timur Tengah menjadi saksi bisu betapa darah terus mengalir di tengah konflik horisontal antarsaudara sendiri. Eropa juga ketir-ketir dengan hantu tragedi bom bunuh diri yang bisa datang sewaku-waktu. Sementara, di Asia, konflik berdarah juga tak kunjung berakhir. Indonesia juga tak lepas. Tragedi Situbondo, Poso, Maluku, dan kerusuhan medio Mei 1998 adalah saksi bahwa persaudaraan sejati hanya isapan jempol.

· Memahami Ajaran Sosialisme Muhammad dan Karl Marx

Judul Buku: Muhammad dan Karl Marx Tentang Masyarakat Tanpa Kelas
Penulis: Munir Che Anam
Penerbit: Pustaka Pelajar
Cetakan: Pertama, Maret 2008
Tebal: 289 Halaman
Peresensi: Muhibin A.M.

Kemiskinan, eksploitasi ekonomi, feodalisme dan perbudakan telah menyebabkan stratifikasi sosial yang tidak adil, terutama bagi masyarakat proletar. Para kapitalis dan golongan borjuis lainnya, secara terstruktur menindas golongan lemah, mereka memanfaatkan golongan orang-orang yang lemah ini untuk mengeruk keuntungannya sendiri. Sehingga kemiskinan yang terstruktur ini tak pernah reda dan selalu mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu. Tindakan pengeskploitasian tenaga orang-orang miskin yang dibayar rendah ini kemudian menimbulkan gerakan perlawanan yang menuntut keadilan dan persamaan hak di antara sesama warga negara.

· Menelusuri Jejak Nasionalisme NU

Judul Buku: Nasionalisme NU
Penulis: Zudi Setiawan
Penerbit: CV Aneka Ilmu, Semarang
Cetakan: September, 2007
Tebal: xviii +334 halaman
Peresensi: Titik Suryani

Kajian tentang Nahdlatul Ulama (NU) seakan tiada pernah ada habisnya. Entah berapa buku yang sudah diterbitkan. Para cerdik pandai dari dalam maupun luar negeri mengkaji NU dari berbagai segi dan dimensinya. Sebagai organisasi kemasyarakatab Islam terbesar di Indonesia atau bahkan di dunia, tentu banyak sisi yang menarik dan patut untuk dikaji secara mendalam. Dan, hal itu absah saja dalam dunia akademis. Di antara yang menarik itu adalah dimensi politik NU, mengingat peran NU yang cukup besar dalam kancah perpolitikan nasional.

· Menengok Konsepsi Teologi Einstein

Judul Buku: Einstein Mencari Tuhan
Penulis: Wisnu Arya Wardhana
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: I, Februari 2008
Tebal: 244 hlmn
Peresensi: M. Sanusi

Eksistensi Tuhan merupakan salah satu kebutuhan mendasar intelektual manusia dari dulu hingga kini. Isu-isu ketuhanan telah merangsang pemikiran manusia lebih dari rasa penasaran mereka akan hal-hal lainnya. Begitu banyak corak serta ragam konsep teologi disusun untuk memuaskan kebutuhan manusia akan hal yang bersifat transendental ini. Baik yang berdasarkan wahyu maupun konsep yang berangkat dari alam pemikiran rasional manusia.

· Bahasa Peradaban dan Kebudayaan Bangsa Arab-Islam

Judul Buku: Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam(Volume II)
Penulis: Ali Ahmad Said (Adonis)
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: I, 2007
Tebal: xl+ 424 Halaman
Peresensi: Juma’ Darmapoetra

Ada hal menarik yang terjadi pada bangsa Arab-Islam sekitar abad ke II dan ujung abad ke III. Corak peradaban bangsa Arab mengalami perdebatan dan pertarungan sangat hebat, yaitu pertarungan antara akal (aql) dan wahyu (naql atau revelation), perdebatan taqlid dan pembaruan, dan kecenderungan salafisme dan kecenderungan rasionalis-empirisme. Pertarungan ini adalah pertarungan terbesar yang dihadapi bangsa Arab, karena pertarungan ini bukanlah konfrontasi sebagaimana perang tetapi adalah pertarungan ideologi. Menurut Julius Caesar, “Pertarungan dan peperangan yang sesungguhnya adalah peperangan atau pertarungan ideologi.”

· Adonis Menggugat Kemapanan Budaya Arab-Islam

Judul Buku: Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam
Judul Asli: Ats-tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ibda’ wa al-ittiba’ Inda al-Arab
Penulis: Adonis
Penerjemah: Dr Khairon Nahdiyyin, MA
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: I, September 2007
Tebal:Ivi + 369 halaman
Peresensi: Minan Nuri Rohman

Nama Adonis tidaklah asing bagi para pecinta kajian sastra dan budaya Asia Barat di seantero dunia. Ali Ahmad Said (baca: Adonis) adalah seorang penyair dan sastrawan kontemporer Arab kelahiran Syria tahun 1930-an dan kini tinggal di Prancis. Ia Beberapa kali dinobatkan sebagai kandidat peraih nobel bidang sastra melalui karya-karyanya yang inovatif dan mampu menggugah kesadaran menciptakan kebudayaan masa kini menjadi lebih progresif dan dinamis. Salah satunya, menggugat adanya kemapanan kebudayaan Arab-Islam (ats-tsabit).

· Mbah Muchith Berbincang NU dan Negara

Judul Buku: Menjadi NU, Menjadi Indonesia (Pemikiran KH Abdul Muchith Muzadi)
Penulis: Ayu Sutarto
Penerbit: Khalista, Surabaya
Cetakan: II, Januari 2007
Tebal: xv + 119 Halaman
Peresensi: Ach Syaiful A'la

Tak lama setelah terbit, buku berjudul Berjuang Sampai Akhir; Kisah Seorang Mbah Muchith (2006), kini terbit buku Menjadi NU, Menjadi Negara, Pemikiran KH Abdul Muchith Muzadi, akrabnya biasa disapa Mbah Muchith.

· Menera Jalan Baru Keagamaan

Judul buku: Manusia Alquran; Jalan Ketiga Religiusitas di Indonesia
Penulis: Prof Dr Abdul Munir Mulkhan
Penerbit: Impulse, Yogyakarta
Cetakan: I, 2007
Tebal: 369 halaman
Peresensi: Ahmad Musthofa Haroen

Al-Quran bukan kitab yang bicara soal ketuhanan semata. Dalam banyak ayatnya, Tuhan justru hadir bersama fenomena kesemestaan. Artinya, Tuhan dipahami dengan membaca seluruh pertanda alam. Ketuhanan terpancar dari potensi ilahiah semua makhluknya. Di sini, sebagai penafsir, manusia dianugerahi kemampuan menalar dan merenung untuk menyingkap alam esoteris Al-Quran. Alam yang tak habis-habis ditimba samudera maknanya, tak juga berbatas meski dijelajah seluruh ayatnya.

· Menelusuri Spiritual Sang Sufi

Judul Buku: Nyanyi Sunyi Seorang Sufi
Penulis: James Fadiman dan Robert Frager Al-Jerrahi
Penerjemah: Helmi Mustafa
Penerbit: Pustaka Al-Furqan, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Desember 2007
Tebal: Lxxiv + 348 hlm.
Peresensi: Adi Kusno

Istilah sufi, barangkali sudah tidak asing lagi di telinga kita. Bahkan, sudah mengakar di benak-benak kita sampai memiliki ruang tersendiri dalam setiap individu kita masing-masing. Mendengar istilah sufi, sepertinya ada sesuatu yang sampai saat ini dirasakan janggal, yang menjadi polemik sejarah. Sebab, sufi selalu diartikan sebagai orang yang sudah lupa akan sifat duniawi, sinting (gila), dan menganggap hanyalah Tuhan yang ada. Namun, pada kenyataannya, tidak demikian, sebab sufi itu sendiri adalah proses seseorang dalam pencariannya menuju yang Satu, yang Maha Segalanya.

· Potret Tionghoa dalam Bingkai Budaya Jawa

Judul: Menjadi Jawa; Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta 1895-1998
Penulis: Prof Dr Rustopo
Penerbit: Ombak, Yogyakarta
Cetakan: Pertama 2007 (xxii + 419 halaman)
Peresensi: Lukman Santoso Az

"Akibat peristiwa gerakan 30 September 1965, etnis Tionghoa, selama 40 tahun lebih harus mengalami diskriminasi atau terkena cultural genocide, yakni pelarangan penggunaan bahasa, mengubah atau mengahancurkan sejarah dan atau menghancurkan simbol-simbol peradabannya". (Tomy Su, 2006)

· Wayang dan Ajaran Moral Islam

Judul buku: Moral Islam dalam Lakon Bima Suci
Penulis: Teguh, M.Ag.
Penerbit: Pustaka pelajar
Cetakan: 1, Desember 2007
Tebal: x+200 halaman
Peresensi: Alfan Zakaria

Harus diakui bahwa wayang merupakan hasil seni budaya klasik tradisional Jawa yang paling banyak dibicarakan para ilmuwan, baik dari dalam maupun luar negeri. Banyak dari mereka yang mendapatkan gelar kesarjanaan dari ilmu pewayangan. Dalam hal ini, Sri Mulyono (1989), menggambarkan bahwa wayang laksana sumber air yang ditimba tanpa ada habisnya.

· Menyingkap Hakikat Makna Haji

Judul: Makna Haji
Penulis: Dr. Ali Syariati
Penerbit: Zahra, Jakarta
Edisi: Pertama, 2007
Tebal: 260 halaman
Peresensi: Lukman Santoso Az*

Ibadah haji, dalam rukun Islam, merupakan ibadah kelima setelah syahadat, salat, puasa dan zakat. Ibadah ini dilakukan pada hari-hari tertentu di bulan Dzulhijjah dengan urutan amalan-amalan tertentu. Setiap pelaku haji melakukan amalan-amalan tersebut pada tempat-tempat yang tertentu pula. Di antaranya adalah Mekah, tempat para jamaah haji melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah), sa’i (lari-lari kecil), dan tahallul (memotong rambut). Kemudian, Arafah, suatu padang tandus tempat para jamaah haji melakukan perenungan dan berdoa sebanyak-banyaknya. Lalu, Mina, tempat para jamaah haji melontar tiga macam jumrah, dan seterusnya hingga ritual haji selesai. Pertanyaannya, apa rahasia yang terkandung dalam pelaksanaan ibadah haji itu, apakah ia hanya sekadar ritual belaka, atau ada makna luhur di balik semua ritual tersebut?

· Membumikan Ekonomi Rabbaniyah

Judul Buku: Agama, Etika, dan Ekonomi
Penulis: Dr. H. Muhammad Djakfar, SH., M.Ag
Penerbit: UIN-Malang Press
Cetakan I: September 2007
Tebal: xix + 288 Halaman
Peresensi: Abdul Halim Fathani*

Bangsa Indonesia saat ini sedang (baca: masih) menghadapi tantangan yang berat dan bertubi-tubi. Berbagai persoalan datang silih berganti. Mulai masalah politik, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, keamanan, dan keagamaan nampak jelas tengah digenjot oleh ragam problematika yang jelas tak dapat dianggap remeh. Nampaknya, begitu pelik dan dilematis. Kenyataan inilah yang menciptakan pandangan bahwa bangsa kita tercinta ini sedang mengalami keterpurukan.

· Meretas Hubungan Antar-Agama dan Negara

Judul buku: Islam Syariah Vis a Vis Negara Ideologi Gerakan Politik di Indonesia
Penulis: Zuly Qodir
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: I, Agustus, 2007
Tebal: 351 Halaman
Peresensi: Adi Kusno*

Akhir-akhir ini, munculnya keinginan yang cukup kuat dan apresiatif untuk menjadikan negara sebagai negara yang berlandaskan pada sebuah agama pada umumnya dan negara Islam pada khususnya, menjadi masalah yang sangat krusial dan fundamental di kalangan umat beragama. Keinginan tersebut, kadang terus berkesinambungan pada sebuah konflik yang tak berkesudahan yang menyebabkan terjadinya peperangan ideologi maupun fisik (pertumpahan darah).

· Konsep Kiai Sahal dalam Membaca Realitas Sosial

Judul Buku: Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh; Antara Konsep dan Implementasi
Penulis: Jamal Ma’mur Asmani
Penerbit: Khalista, Surabaya
Cetakan: I, Desember 2007
Tebal: xxxiii + 373 halaman
Peresensi: Fikrul Umam MS*

Fikih sosial Kiai Sahal merupakan konsep aktif-progresif dan selalu mengacu pada lima prinsip pokok; pertama, interpretasi teks-teks fikih secara konstektual. Kedua, perubahan pola ber-mazhab dari qauly (tekstual) ke manhaji (metodologis). Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu’). Keempat, fikih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara. Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah sosial dan budaya.

· Republik Pasar Bebas : Menjual kekuasaan Negara, Demokrasi dan Civil Society Kepada Kapitalisme Global

Penerbit: INFID, Bina Rena Pariwara Jakarta

Mewaspadai Ancaman Globalisasi
Oleh : Samsul Huda

Banyak orang berucap dengan ringannya kata ‘globalisasi’, seolah kata itu tak bermakna, sebuah kata-kata kosong, yang tidak memiliki implikasi ideologi sama sekali. Bahkan ngerinya kata ini, seolah menjadi panduan pergaulan sehari-hari yang diucapakan oleh manusia dari segala strata. Semua bicara tentang globaliasi,.dimana-mana globalisasi. Tragis nya kata ini menjadi magnet luar biasa kuat, konsumen kata ini bukan monopoly pemerintah, akademisi, atau kalangan profesional semata, tapi sudah menjadi bahasa pergaulan sehari-hari rakyat kecil, istilah ini meluber kemana-mana, dari gedung bertingkat sampai kedai kopi. Semua memperbincangkannya tanpa tahu, siapa kekuatan invisible hand yang menggerakkan demi kepentingan ideologinya.

· Jilbab; Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan

Penerbit: Serambi, Jakarta, Cetakan I : April 2003

Oleh: Achmad Maulani*)

Tradisi berjilbab mulai menyebar ke berbagai belahan dunia sekitar akhir 1970-an dan menjelang awal 1980-an. Tepatnya pasca Revolusi Islam meletus di Iran, di mana pemimpin besar revolusi Iran Ayatullah Khomeini berhasil menggulingkan rezim Syah Reza Pahlevi. Sebuah revolusi yang oleh banyak orang disebut sebagai revolusi peradaban atas hegemoni peradaban Barat. Banyak simbol yang digunakan sebagai medium resistensi dalam revolusi Islam Iran tersebut. Di antaranya adalah Jilbab. Jilbab dalam revolusi Iran menjadi simbol resistensi yang sangat signifikan. Jilbab menjadi simbolisasi identitas kebudayaan yang mengusung nilai-nilai spritual sebagai counter atas kebudayaan Barat yang berpijak pada landasan sekulerisme. Gaung dari revolusi Iran ini bergema di belahan negeri-negeri muslim di dunia. Dari sinilah, Jilbab menjadi populer dan memiliki sejarah sosial yang sangat variatif di seluruh dunia (hlm. 18).

· Ijtihad Politik Ulama

Penerbit: LKIS Yogyakarta Tahun 2003

Membongkar Skandal Akademik

Orang selalu menyangka bahwa kajian akademik itu merupakan teori, metode dan analisis yang serba obyektif, bebas prasangka. Padahal dalam jubah obyektivitas itu penuh dengan prasangka, sarat nilai dan segudang kepentingan, yang bersifat ekonomis maupun politis.Buku yang ditulis oleh Greg Fealy ini berusaha dengan cermat membongkar dan menelanjangi kepalsuan akademik tersebut, khususnya dalam kajian NU yang dilakukan oleh para intelektual dunia yang selama ini dianggap hebat, sehingga teori dan argumennya selalu dianut oleh para intelektual Indonesia, karena dianggap obyektif dan akademik, padahal hanya merupakan statemen dan slogan politik, yang kebetulan dilontarkan oleh orang kampusan dan bergelar professor doktor, sehingga kengawurannya dalam menilai entitas NU seolah bisa dipercaya.

· Kewargaan Multikultural

Penerbit: Pustaka LP3ES,2003

Sudah menjadi kodrat bahwa kehidupan dunia ini bersifat plural, tidak tunggal, baik karena factor alam, factor sejarah, factor social maupun politik, karena itu perwatakan kehidupan menjadi multicultural, karena masing-masing komunitas mengekpresikan aspirasinya sesuai dengan lingkungan budaya masing-masing. Adalah ulah manusia yang hegemonic yang berusaha menumpas multikulturalisme, baik atas nama kemurnian ideologi, kesatuan agama, keutuhan dinasti atau kemurnian ras. Dalam cara pandang itu semua komunitas yang diluar dirinya dianggap ancaman, karena itu harus ditaklukkan kalau perlu dihancurkan, di situlah kolonialisme dan imperialisme kebudayaan dimulai.

Buku karangan Will Kymlicka, ini berusaha menguraikan bagaimana ketegangan antar kelompok, ras, etnis atau agama, yang terjadi di Barat. Bahwa perkembangan masyarakat Barat sangat berbeda dengan masyarakat Timur yang bertahap, maka Barat dengan mesin kolonialisme dengan persenjataan yang lengkap mampu menciptakan komunitas baru melalui penaklukan. Dalam penaklukan itu etnis setempat dihancurkan, sehingga hampir punah. Bagaimana nasip orang Aborigin di Australia, etnis Mauri di New Zealand, Indian di Amerika dan Kanada dan berbagai ras yang hampir punah di Amerika Latin, karena kedatanagan penjajah Eropa yang berkulit puti.

· Meruntuhkan Indonesia

Penerbit: LKiS Yogyakarta , 2003

Pada mulanya para filsuf mengatakan bahawa pengetahuan sebagai kebijaksanaan (wisdom), tetapi dalam kenyataannya pengetahuan juga merupakan sebuah kekuasaan (power). Tetap pengetahuan selalu bisa menyembunyikan kepentingan politis dan ideologis dibaliknya, dengan diselubungi oleh jubah akademis. Pandangan itu valid sebelum muncul teori kritis yang membongkar interes ideologi dibalik wacana ilmu pengetahuan. Karena itu pada mulanya teori ktitis tidak dianggap ilmiah, sebab mengakui adanya interes (kepentingan), padahal dalil ilmu pengetahuan positivis tidak mengenal (menyembunyikan) interes dibalik teori mereka, sehingga berani mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu netral nilai dan steril dari idelogi politik.

Telaah yang dilakukan Simon Philpot, dalam bukunya Rethinking Indonesia: Post Colonial Theory, Authoritarianism and Identity, terhadap kajian Indonesia ini, memang menggunakan perspektif teori kritis. Ia mencoba menyorot bagaimana para Indonesianis (ahli tentang Indonesia) itu merumuskan pemikirannaya, sejak dari membangun asumsi hingga merumuskan teori dan metodologi pengetahuan. Hal itu dilakuakn sebab ia melihat bahwa selama ini kajian Indonesia menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok. Pemikiran para Indonesianis tersebut semakin mencolok biasnya ketika dilihat dari perspektif teori orientalisme Edward Said yang sangat terkenal itu.

· Wajah Peradaban Barat

Penerbit: GIP Jakarta, Cet 1 2005. xxxvi + 415 halaman

Penulis : Adian Husaini
Peresensi : Muhammadun AS*

Di penghujung akhir abad dua puluh, tepatnya tahun 1989, Barat yang dimotori Amerika Serikat memporak-porandakan lawan tanggungnya, Uni Soviet. Runtuhnya kekuasaan Uni Soviret oleh Barat diklaim sebagai akhir perebutan kekuasaan dunia, karena setelah menaklukkan rival ideologisnya, monarchi herediter, fasisme, dan terakhir komunisme, dunia oleh Barat dibangun konsensus bahwa demokrasi liberal yang mereka usung merupakan semacam titik akhir dari evolusi ideologi dan bentuk final dari sebuah pemerintahan. Dan oleh Fancis Fukuyama {1989} hal ini dikatakan sebagai sebuah akhir sejarah {the end of history}. Lebih lanjut Fukuyama melihat bahwa demokrasi liberal sudah tidak berbantahkan lagi menjadi kesepakatan dunia, maka sedah menjadi keniscayaan bagi masyarakat dunia untuk menerapkan demokrasi liberal.

· Menggapai Cinta, Meraih Makna

Penerbit: Mizan, Bandung

Cetakan: 1, Desember 2005, Tebal : 183 halaman [termasuk Indeks]

Peresensi : Ahmad Hasan MS*

KEBERMAKNAAN hidup ini ditentukan oleh keserasian antara sikap batin, gerak tubuh dan olah lisan, cinta adalah spirit yang membangun keharmanisan dan keselarasan dibalik semua bentuk dan makna itu, dengan cinta hidup ini lebih nyaman, indah dan penuh menggairahkan, orang yang sedang jatuh cinta pasti berusaha memenuhi permintaan sang kekasih pujaanya dan selalu ingin mendekat padanya dimanapun dan kapanpun Ia berada, oleh karna itu tidaklah heran bila pepatah mengatakan bahwa cinta adalah segala-galanya.

Sumber dan pusat dari cinta segala cinta yang paling hakiki tidak lain adalah dari dan untuk sang maha pencipta,yaitu tuhan yang menciptakan dan mengatur segala macam kehidupan dari makhluk ciptaanya, oleh karna itu untuk meraih cinta dan kasih sayangnya maka harus memenuhi segala macam yang diperintahkannya dan menjauhi laranganya atau dalam istilahnya bertaqwa.

· Fikih Keseharian Gusmus

Penerbit: Khalista Surabaya

Penulis : KH. Ahmad Musthofa Bisri (Gusmus)

Peresensi : Peresensi Ach. Tirmidzi Munahwan

Selama ini berita yang masih aktual, dan masih menjadi sorotan media massa adalah peristiwa tentang perselisihan dan perdebatan dalam pemikiran masalah-masalah keagamaan atau fiqh, yang dalam istilah NU disebut forum “Bahtsul Masail”. Bahtsul masail ini merupakan salah satu forum diskusi keagamaan untuk merespon dan memberikan solusi atas problematika aktual yang muncul dalam kehidupan masyarakat. KH Sahal Mahfudz, Pengurus Syuriyah PBNU menyebutnya bahwa forum “Bahtsul Masail” merupakan forum yang dinamis dan demokratis, selalu mengikuti perkembangan, dan trend hukum yang terjadi di masyarakat.

· Sosialisme dan Pemikiran Muammar Qadhafi

Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta Cetakan : I, April 2006

Penulis : Endang Mintarja

Peresensi : Fikrul Umam MS*

Kata sosialisme berasal dari bahasa Latin socius yang berarti makker (Belanda), friendly (Inggris), pertemuan atau persahabatan (Indonesia). Secara terminologi sosialisme bermakna berbagai macam teori atau sistem organisasi sosial, yang disitu alat-alat produksi dan pembagian kekayaan dimiliki (dan dikelola) secara kolektif melalui pemerintahan sentralistis yang selalu merancang dan mengawasi ekonomi. Seiring dengan pengertian sosialisme yang terus berkembang, ia sering dikaitkan dengan produk sejarah dan kebudayaan. Untuk mendefinisikannya secara tepat, perlu bagi kita untuk menelaah perkembangannya, dari sosialisme sebagai embrio pada masa klasik, di mana sosialisme bukanlah sebagai konsep yang baku, apalagi sebagai kajian ilmiah sampai pada diperkenalkannya sosialisme sebagai istilah yang baku dan sebuah disiplin ilmu dari gerakan yang sistematis.

· Jalan Ketiga Pemikiran Islam

Penerbit: IRCiSoD-UMG Press I April 2006

Penulis : Moh. Shofan

Pengantar : Prof. Dr. M. Amin Abdullah

Peresensi : Ali Usman*

Saat ini peta pemikiran kontemporer Islam terbelah menjadi dua “aliran” ekstrim yang kian hari kian menegangkan. Dua “aliran” besar tersebut tidak lain adalah Islam yang berpaham tradisionalisme dan liberalisme. Kemudian secara teknis, tradisionalisme ini menjelma menjadi “Islam fundamentalis” dan “Islam liberal” yang dalam setiap waktu selalu bersitegang mempertahankan kebenarannya masing-masing (truth claim). Lalu, apa dan bagaimana paham tradisionalisme dan liberalisme?

· Pangeran Bersarung

Penerbit: Matapena Jogjakarta,Cetakan I : 2005

Mahbub Jamaluddin

Peresensi : Rijal Mumazziq Z*

Jika dalam era 80-an maupun 90-an, para santri mengekspresikan karyanya dalam bentuk puisi, esai, kolom maupun artikel di media massa. Maka era 2000-an ke atas menjadi penanda bahwa karya tulis para santri lebih luas jangkauannya, termasuk merambah domain novel sastra populer. Hingga saat ini pesantren yang oleh Gus Dur disebut sebagai sub-kultur (oleh sebab memiliki tradisi dan pola kehidupan sendiri), tampak belum secara optimal diolah dalam bentuk karya (sastra) yang ditulis oleh para santri. Padahal, jika boleh diibaratkan kekayaan tradisi pesantren merupakan sebuah tambang emas yang menunggu tangan-tangan kreatif untuk mengeksplorasi secara optimal segala isinya dalam bentuk tulisan.

· Titik Tengkar Pesantren: Resolusi Konflk Masyarakat Pesantren

Penerbit: Pilar Religia, Yogyakarta, Cetakan I, Februari 2004

Penulis : Hamdan Farchan dan Syarifudin

Peresensi : Kholilur Rahman Ahmad*

Konflik dalam kehidupan sosial masyarakat merupakan fakta. Tingkat eskalasinya pun berbeda-beda, pun solusi yang dipilih pun beragam sesuai dengan intensitas dampak yang ditimbulkannya. Jenis konflik sosial yang terjadi di Indonesia secara umum variatif, yakni baik vertikal; negara versus warga, buruh versus majikan; maupun horizontal: antarsuku, antaragama, antarmasyarakat dan sebagainya.

· Etika Bisnis dalam Al-Qur'an

Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta, Tebal: xxvi + 259 halaman

Penulis : R. Lukman Fauroni

Oleh: Syaiful Bari*

Wajah dunia bisnis di era neoliberalisme ini tiba-tiba sangat menakutkan. Menakutkan karena ia hanya memperjuangkan keuntungan finansial semata dengan berpijak pada konsep seleksi alam Darwin, survival of the fittest (siapa yang kuat, dialah yang menang). Hampir tidak ditemukan adanya keadilan dan keseimbangan sosial dalam dunia bisnis yang berwatak kapitalis itu.

Mansour Fakih (alm) dalam buku Bebas dari Neoliberalisme (2004) secara kritis mengeksplorasi karakter neoliberalisme. Menurutnya, neoliberalisme hanya dan akan terus memperjuangkan leissez faire (kompetisi bebas). Penganut paham inilah yang akhirnya mengampanyekan bahwa dunia bisnis sama sekali tidak ada kaitannya dengan etika. De George menyebut pandangan ini sebagai "mitos bisnis amoral."

· Mafia Berkeley dan krisis Ekonomi Indonesia

Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta Cetakan 1 April 2006 : Tebal : vii+280 hal

Penulis : R. Lukman Fauroni

Peresensi : Ahmad Hasan Musairi*)

Salah satu masalah besar yang sedang dialami bangsa Indonesia adalah krisis ekonomi. Sampai saat ini krisis ekonomi masih menjadi fenomena akut yang belum ditemukan obat penyembuhannya. Berbagai kebijakan telah diterapkan oleh pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini, namun ternyata kebijakan tersebut masih jauh dari tuntutan masyarakat. Bahkan krisis ekonomi yang menimpa bangsa Indonesia sejak 1997 malah semakin menimbulkan persoalan yang rumit dan kompleks yakni mengarah pada krisis multidimensi.

· Khitthah Nahdliyyah

Penerbit: Khalista Surabaya bekerjasama dengan Lajnah Ta'lif wa Nasyr Jawa Timur Edisi : Desember 2005

Hasil Penggalian Otentik atas Jatidiri NU

Peresensi : Rijal Mumazziq Z *

Dalam pejalanan NU selama 80 tahun, Khitthah 1926 yang merupakan landasan dasar pergerakan NU adakalanya mengalami sebuah masa ketika rumusan yang meneguhkan NU hanya merupakan organisasi sosial keagamaan murni (jamiyyah ijtimaiyyah diniyyah mahdhah) sedikit terlupakan. Sebab, dengan dinamisnya pergerakan NU, bukan tidak mungkin jika kemudian organisasi ini mengadakan sebuah langkah akomodatif dengan situasi dan kondisi agar lebih shalih li kulli zaman wa makan (relevan di setiap situasi dan kondisi).

· Para Pemikir Bebas Islam

Penerbit: LKiS Yogyakarta Cetakan : 1, Februari 2006, Tebal : xxii + 385 halaman

MENELAAH JEJAK PEMIKIR BEBAS ISLAM

Peresensi : Muhammadun AS*

Bila kita menelaah gemuruh intelektualisme dalam dunia Islam saat ini, sebuah keniscayaan bagi kita untuk menengok kebelakang wajah pemikiran dunia Islam yang pada abad pertengahan menjadi “kiblat” pemikiran dunia.

· Reproduksi Ulama di Era Globalisasi; Resistansi Tradisional Islam

Penerbit: Pustaka Pelajar Yogyakarta

Pengantar : Aburrahman Mas'ud
Cetakan : 1, 2005
Tebal : xvi + 318 halaman

· Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme

Penerbit: Pustaka Pelajar Yogyakarta Cetakan : 1, Maret 2006 Tebal : Ixxvii + 341 halaman

MEMBEDAH SPIRIT PROTESTAN DALAM IDEOLOGI KAPITALISME

Peresensi : Muhammadun AS*

Dikalangan pemikir sosial-humaniora, Max Weber merupakan tokoh penting yang selalu menghadirkan pemikiran-pemikiran baru dan bernas yang kerap kali menimbulkan ketercengangan dan kontroversial. Sehingga tidak salah, kalau karya-karyanya banyak dijadikan rujukan utama ilmuan sosial diberbagai perguruan tinggi, termasuk di Indonesia. Karyanya yang termaktub dalam "Etika Protestan dan Spirit Kapitalsime" merupakan karya yang paling kontroversial, karena telah menyandingkan interpretasi teks agama terhadap gejala munculnya ideologi kapitalisme. Sebagaimana kita ketahui, kapitalisme telah menjadi ideologi terkukuh dan terhandal didunia, mengalahkan berbagai ideologi lain, khususnya sosialisme. Dalam sejarah perjalanannya, ternyata kapitalisme banyak melahirkan ketimpangan sosial, khususnya melahirkan masyarakat marginal yang selalu kalah dan ‘dikalahkan’ yang terakumulasi dalam kelompok negara ketiga. Bahkan sekarang ini telah lahir "warga dunia keempat’ akibat gagal seleksi dalam persaingan industri modern yang setiap saat selalu disalahkan karena tidak progresif dan inovatif.

· Quran Menurut Perempuan; Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan

Penerbit: Serambi, Jakarta Cetakan I Maret 2006: 232 halaman

Tafsir Feminisme Al-Quran dari Sudut Pandang Perempuan

Penyunting Kurniawan Abdullah

· Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam

Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta

MENGENALKAN PENDIDIKAN PADA ANAK USIA DINI

Cetakan : I, Desember 2005
Tebal : xxi + 392 halaman

· Gerakan Ahmadiyah di Indonesia

Penerbit: LKiS Yogyakarta

MENELUSURI JEJAK GERAKAN AHMADIYAH DI INDONESIA

· Idham Chalid, Cermin Politisi Sejati
09/07/2007

Judul Buku: Idham Chalid, Guru Politik Orang NU
Penulis: Ahmad Muhajir
Penerbit: Pustaka Pesantren Jogjakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2007
Tebal: xx + 169 halaman
Peresensi: Titik Suryani*

Tak bisa disangkal, Idham Chalid adalah sosok kontroversial dalam sejarah perpolitikan Nahdlatul Ulama (NU). Ia dianggap sebagai politikus yang tidak memiliki pendirian, mementingkan diri sendiri (egois), dan banyak merugikan kepentingan umat. Bahkan, sikap politiknya yang—dianggap—selalu mengambang di atas dan sering lebih menguntungkan pihak penguasa, membuat dirinya mendapat julukan ‘politikus gabus’ dari Gerakan Pemuda Ansor--organisasi sayap pemuda NU.

· Antologi NU ; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah

Penulis: H. Soeleiman Fadeli & Mohammad Subhan, S.Sos, Pengantar: K.H. Abdul Muchith Muzadi, Penerbit: Khalista, Surabaya, Cetakan: I, Juni 2007
Tebal: xviii + 322 halaman, Peresensi: M. Abdul Hady JM

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Organisasi ini didirikan di Surabaya oleh para ulama pengasuh pesantren pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H.

· Politik Islam dan Politik Haji

Oleh Ach Syaiful A'la*

Judul Buku: Historiografi Haji Indonesia
Penulis: Dr M Shaleh Putuhens
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: I, 2007
Tebal Buku: xx + 436 halaman

Ziarah keagamaan adalah ibadah atau ritual yang lazim dalam hampir seluruh agama yang ada di bumi. Seperti ibadah haji bagi umat Islam merupakan ibadah sakral, wajib dilaksanakan setiap muslim yang mampu secara ekonomi, fisik, mempunyai ilmu, tahu tata cara pelaksanaan ibadah haji.

· Potret Keluarga Demokratis

Oleh M. Husnaini*

Judul Buku: Sama Tapi Berbeda (Potret Keluarga Besar KH A Wahid Hasyim)
Penulis: Ali Yahya
Penerbit: Yayasan KH A Wahid Hasyim Jombang
Cetakan: I, Mei 2007
Tebal: xxxviii + 411 halaman

Siapa yang tak kenal KH A Wahid Hasyim. Hampir setiap orang tahu dan mengenalnya. Dia adalah putra pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari. Perjalanan hidupnya singkat, karena Allah telah memanggilnya ketika usianya belum lagi genap 39 tahun. Meski di usianya yang relatif muda, ia telah menjadi figur penting dan memiliki pengaruh yang luar biasa di berbagai kalangan. Kiprahnya sungguh “mencengangkan”.

· Sang Revolusioner Islam Abad Modern

Oleh Ach. Syaiful A'la*

Judul Buku: Ahmadinejad! David di Tengah Angkara Dalam Goliath Dunia
Pengantar: Rosianna Silalahi
Penerbit: PT Mizan Publika
Cetakan: V, Januari 2007
Tebal: xxvi + 303 hlm

Masih ada negara yang berani menantang Amerika Serikat (AS)? Jawabannya, ada. Satu dari sekian negara itu adalah Iran, Mahmoud Ahmadinejad sebagai presidennya. Berbagai pernyataannya seputar nuklir dan Israel menyulut kemarahan sang Adikuasa, AS dan sekutunya. Ahmadinejad tetap bersikukuh pada pendirian dan menunjukkan kegigihannya untuk menentang tekanan-tekanan terhadap negaranya terkait program nuklir.

· Pribumisasi Islam Ala Gus Dur

Oleh M. Husnaini*

Judul Buku: Islamku, Islam Anda dan Islam Kita
Agama Masyarakat Negara Demokrasi
Penulis: KH. Abdurrahman Wahid
Penerbit: The Wahid Institute
Tebal: xxxvi + 412 halaman
Cetakan: I, 2006

Persoalan yang paling rumit di dalam keberagamaan adalah masalah penafisiran. Kesalahan pada ranah ini akan berakibat fatal karena dapat mendestruksi keseluruhan nilai yang terkandung di dalam agama yang luhur ini. Terorisme dan bunuh diri di antaranya dilatari oleh kesalahan dalam menafsirkan agama tersebut, di samping sebab-sebab lain, seperti globalisasi, kepentingan politik dan ekonomi. Di sinilah, membedah pemikiran Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid ) menjadi sangat urgen untuk mengantarkan kita kepada pemahaman agama (baca: Islam) secara komprehensif.

· Memahami Aswaja ala NU

Oleh Ach Tirmidzi Munahwan*

Judul: Aswaja An-Nahdliyah, Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul Ulama
Penulis: Masyhudi Muchtar
Pengantar: Dr KH Ali Maschan Moesa, M.Si
Penerbit: Khalista Surabaya
Cetakan: I, Maret 2007
Tebal: vii+56 hal

Nahdlatul Ulama (NU) didirikan sebagai jam'iyah diniyah al-ijtima'iyyah (organisasi keagamaan dan kemasyarakatan). Jamiyah ini dibentuk untuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan para pengikutnya, yang di dalamnya memiliki konsep dan ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja).

· Qaryah Thayyibah, Sekolah Masa Depan

Oleh Ali Usman*

Judul Buku: Lebih Baik Tidak Sekolah
Penulis: Sujono Samba
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: I, Januari 2007
Tebal: xviii + 94 halaman

"Sekolah sebagai siksaan yang tak tertahankan." (R. Tagore)

Membincang persoalan pendidikan di Indonesia memang tak ada habisnya. Mulai dari persoalan kurikulum, paradigma, orientasi, dan kualitasnya masih menjadi perdebatan sengit di antara praktisi, pakar dan pejabat negara. Jangan tanya di nomor urut berapa kualitas pendidikan kita sekarang dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Sebab, di saat mereka (baca: luar negeri) semakin optimis melaju meningkatkan pendidikan, kita masih ribut mencari format yang ideal.

· Judul Buku : Dekonstruksi Tradisi; Kaum Muda NU Merobek Tradisi

Penulis : Dr. Ahmad Ali Riyadi, Penerbit : Ar-Ruzz Media Yogyakarta, Cetakan : Pertama, Januari 2007, Tebal : 216 Halaman, Peresensi : M. Husnaini*

Selama ini, kajian tentang NU telah banyak dilakukan oleh para pemerhati keislaman. Tidak hanya dalam negeri, para intelektual dari luar negeri juga sudah banyak yang melakukan penelitian seputar dinamika pergerakan NU di tanah air. Clifford Geertz, Andree Feillard, dan Martin Van Bruinessen adalah sederet nama yang pernah muncul ke permukaan bumi nusantara. Namun sayangnya, dalam setiap karya yang ada, “cap” tradisionalis masih seringkali dilekatkan pada tubuh NU. Hal ini seakan menutup cela adanya kemungkinan untuk melakukan perubahan dalam tubuh NU. Namun, tidak demikian adanya setelah kita membaca buku ini.

· Satu Dusun Tiga Masjid Anomali Ideologisasi Agama dalam Agama

Penulis: Ahmad Salehudin, Penerbit: Pilar Media, Yogyakarta,

Cetakan: 1, Maret 2007, Tebal: xxiv + 132 Halaman, Peresensi: Puji Hartanto*

Dalam sejarah manusia seluruh dunia dan pada setiap zaman, agama adalah sesuatu yang terus mengalami perubahan. Hal demikian ini dikarenakan agama tidaklah lahir dari sebuah realitas yang hampa, tetapi ia (agama) hadir dalam masyarakat yang telah mempunyai nilai-nilai. Pertemuan antara Islam dan budaya Indonesia yang notabene mempuyai budaya dan kultur yang berlainan antar suku bangsa misalnya, telah menjadikan Islam Indonesia mempunyai banyak wajah.

· Memahami Metode Tafsir Dalam Turas Klasik

Penulis : Dr. Hasan Hanafi, Penerbit : Nawesea, Yogyakarta, Cetakan : I, Januari 2007, Tebal : 76 halaman, Peresensi : Fikrul Umam MS*

Al-Quran adalah sumber turas (tradisi), asas peradaban dan sumber pengetahuan umat sekaligus sebagai faktor pembangkit mayoritas gerakan sosial politik di sepanjang empat belas abad sejarahnya. Semua gerakan pembaharuan (tajdid) kontemporer yang berpengaruh di dunia Islam kontemporer kita sebenarnya lahir dari pemahaman al-Quran dengan metode penafsirannya. Misalnya; gerakan nasionalisme dan pembebasan di Arab Barat terkait erat dengan Islam (seperti tercermin dalam revolusi Rif di Maroko, gerakan pembebasan tanah air di Aljazair, Sanusiah dan Umar Mukhtar di Libia) dan terkait dengan ulama Aljazair, ulama Universitas al-Zaitunah dan Universitas al-Qarawiyin di Tunis. Hal yang sama juga terjadi di Arab Timur seperti tercermin dalam gerakan al-Mahdi di Sudan, Wahabi di Hijaz, al-Kawakibi di Syam dan al-Afghani di Mesir. Semangat ini kemudian merambat ke seluruh dunia Islam seperti di Pakistan (dengan konsepnya sebagaimana negara dalam puisi Iqbal) dan terakhir revolusi di Iran.

· TEORI COMMON LINK G.H.A. JUYNBOLL, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi

Selama ini, umat Islam meyakini bahwa jika suatu hadits terdapat (terkodifikasi) dalam koleksi kitab-kitab kanonik (al-kutub as-sittah/at-tis’ah), maka secara otomatis hadits tersebut dinilai shahih, autentik berasal dari Nabi Muhammad SAW. Tidak disangsikan lagi kebenarannya, dan oleh karenanya dapat dijadikan hujjah (dasar/pijakan) dalam menyelesaikan sebuah masalah. Namun, kenyataan ini akan berbeda sama sekali setelah kita mengkaji secara mendalam teori common link yang diperkenalkan oleh G.H.A. Juynboll dalam buku ini.

· Memburu Rumi: Kisah Tentang Pencarian Cinta Sejati

Penulis : Roger Housden
Penerbit : Ologia, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, November 2006
Tebal : 160 Halaman

Oleh: Muhammad Basir*

Segala zarah semesta berada dalam cinta kasih dan mencari para pencintanya. Tangkai-tangkai jerami menggigil dihadapan cahaya kekuningan”. Sebaris sajak Jallaluddin Rumi yang ditulis pada abad ketiga belas di Konya Turki. Sajak inilah yang mengetarkan hati Gorgiou dan berusaha menemukan makna syair itu sampai ke Konya , tempat diman syair itu ditulis oleh penyair Islam yang masyhur itu.

Dengan menggabungkan gaya cerita dalam novel The Alchemist dan The Little Prince, novel berjudul asli Chasing Rumi: A Fable About Finding the Heart`s True Desire ( Memburu Rumi: Kisah Tentang Pencarian Cinta Sejati) yang ditulis oleh Roger Housden, penulis buku terlaris Ten Poems ti Chage Your Life (2001).

Pengarang The Seeker`s guide Elizabeth Lesser memberikan komentar pada buku ini “Memburu Rumi adalah sebuah karya yang harus dibaca oleh siapa saja yang merasa bahwa hidup merupakan perjalanan jiwa yang dirancang sepenuhnya untuk tujuan suci cinta. Novel ini merupakan harta benda mengenai petunjuk bijaksana dan inspirasi liar. Novel yang mengungkap rahasia Rumi dalam syair-syairnya yaitu cinta.

· Refleksi Utuh Sesepuh dan Sejarawan NU

Judul Buku : NU dalam Perspektif Sejarah & Ajaran (Refleksi 65 tahun ikut NU)
Penulis : KH. Abdul Muchith Muzadi
Penerbit : Khalista Surabaya
Edisi : 2006
Tebal : 173 + x halaman
Peresensi : Rijal Mumazziq Z (Alumnus PP. Mabdaul Maarif Jember)

DALAM satu kesempatan (yang dinukil kembali dalam salah satu halaman buku ini), KH. Abdul Muchith Muzadi melontarkan parikena yang cukup mengundang senyum namun juga telak menyindir warga NU: “Justru karena besarnya jumlah anggota pengikut, maka NU tidak dapat bergerak maju dengan cepat.”

Itulah sekilas ungkapan khas Kiai Muchith dalam menyampaikan kritikannya, melalui humor cerdas namun telak menyindir obyek kritikan. Begitu pula saat Kiai sepuh ini menyampaikan gagasan-gagasannya, adakalanya dilontarkan dengan gaya parikena, melalui kiasan, maupun secara reflektif-konstruktif, baik melalui lisan maupun tulisan.

· Pendidikan Alternatif Qoryah Thayyibah

Penerbit: LKiS, Yogyakarta, Cetakan: 1, Januari 2007, Tebal Buku: xx + 286 Halaman, Peresensi: Andi Ujiawan*

Siapa yang tidak kenal nama SMP Qoryah Thayyibah (QT)? Berdiri pada Juli 2003 di Salatiga Semarang , nama lembaga pendidikan alternatif itu kini sudah mulai menggema. Bahkan Naswil Idris, salah seorang pakar Pendidikan Nasional (Diknas) pernah turut mempromosikan model SMP alternatif QT baik dalam lingkup nasional maupun forum internasional dengan mengatakan bahwa "SMP Alternatif QT di Kalibening sejajar dengan kampung Isy Les Moulineuk di Prancis, Kecamatan Mitaka di Tokyo, dan lima komunitas lain yang dipandang sebagai tujuh keajaiban dunia".

· Maqoshid Syariah dalam Pergumulan Politik; Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga

Penulis : Yudian Wahyudi, Penerbit : Nawesea Yogyakarta, Cetakan : 1, Januari 2007, Tebal : 108 halaman, Peresensi : Muhammadun AS*

Dalam studi keislaman (islamic studies) kontemporer, agama (Islam) bukan sekedar menjadi dilihat pada normativitas ajarannya, tetapi juga dilihat pada spirit historisitas keilmuannya. Agama, secara normatif, hanya menjadi doktrin yang membelenggu nalar kritis pemeluknya. Sementara dalam spirit historisitasnya, agama tidak lagi taken for granted, tetapi mampu tampil sebagai sumber inspirasi kehidupan, sumber spirit kritik sosial, dan sumber membangun kebudayaan dan peradaban. Untuk itu, nalar keberagamaan dalam islamic studies selalu menempatkan agama dalam normativitas dan historisitas sekaligus. Sehingga, agama selain menjadi basis ritualitas pemeluknya, juga menjadi pijakan dalam melakukan revolusi kebudayaan dan peradaban.

· Dzikir-dzikir Cinta

Penulis: Anam Khoirul Anam, Penerbit: Diva Press Yogyakarta, Cetakan: 2007, Tebal : 392 hal, Peresensi : Fathor Rasyid lt*

Salah kaprah dalam memaknai cinta akhir-akhir ini sering kali terjadi pada kalangan remaja. Hamil di luar nikah, aborsi, dan sebagainya, selalu saja mengatas namakan cinta. Padahal jika cinta tidak dipahami sepotong-sepotong, maka seperti yang dikatakan Gibran bahwa, cinta akan menjadi mahkota yang akan membawa sang pencinta naik pada hakekat cinta itu sendiri (1997).

· Judul buku : Tangklukan, Abangan, dan Tarekat; Kebangkitan Agama di Jawa

Penulis : Ahmad Syafi'i Mufid, Pengantar : Moeslim Abdurrahman
Penerbit : Obor Jakarta, Cetakan : 1, 2006, Tebal : xi + 322 halaman
Peresensi : Muhammadun AS*

Membaca trend keberagamaan di Indonesia dewasa ini, terlihat sekali bahwa spirit agama belum menjadi common denominator (kalimatun sawa’) dalam merancang etika kebangsaan dan kenagaraan. Yang terjadi agaam justru dijadikan komoditas kepentingan (politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya), sehingga pesan agama dalam membangun persaudaraan dan perdamaian seringkali tersendat, terlantar, bahkan tergadaikan. Sejarah mencatat bahwa sidang konstutuante tahun 1950-an gagal mencapai kesepakatan dikarenakan elite politik menjadikan agama sebagai komoditas kepentingan, sehingga rumusan agenda kebangsaan gagal terwujud. Berbeda dengan yang dilakukan para Wali Songo. Agama ditangan para wali justru tampil sebagai spirit dalam melakukan kerja-kerja kebangsaan. Spirit agama tampil digarda depan untuk membuka krak-kran penindasan dan penjajahan.

· Pendobrak Mitos di dalam Era Virtualitas

Judul buku : Membedah Mitos-mitos Budaya Massa
Penulis : Roland Berthes
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan I : Februari 2007
Tebal : Ixxv + 364 hlm
Peresensi : Fathor Rasyid lt*

Di dalam era virtual yang sarat informasi dan pencitraan dewasa ini, pe“mitos”an semakin menemukan tempatnya di ketinggian yang melebihi realitas atau keasliannya. Bisa saja pada realitasnya “hitam” sedang pada penampakannya “putih”, artinya di dalam era virtual ini semua tampilan atau penampakan akan bertolak belakang dari keaslian dan tercerabut dari subtansinya. Sebab itu tidak diherankan jika kualitas seseorang atau pun kualitas pada suatu produk tidak menjadi tolak ukur ditengah khalayak umum untuk dipilih, dibeli, atau dikonsumsi. Selagi kekuatan mitos yang dimunculkan lewat promisi bisa mempengaruhi publik, maka itulah yang akan menjadi keutamaan.

· NU Menjembatani Dua Kutub Pemikiran

Penerbit: Erlangga, Jakarta

Penulis :Ahmad Baso, Cetakan :I, 2006, Tebal :510 hlmn, Harga :Rp. 90.000, Peresensi :M. Sanusi*

Tanggal 31 Januari 2007 nanti NU akan merayakan ulang tahunnya yang ke 81. Selama periode itu, NU telah mencoba berbagai strategi yang mengindikasikan komitmen besarnya terhadap agenda-agenda trasnformasi sosial dan pemberdayaan masyarakat. Akan tetapi, selama itu pula NU tidak lepas dari pergulatan menyangkut status dan identitasnya sebagai organisasi keagamann terbesar di Indonesia. Dari corak tradisional-kultural di masa awal berdirinya, hingga era ketika neo-liberalisme seperti sekarang mendesakkan teologinya ke segala sendi kehidupan.

Fluktuasi dinamika perjalanan NU tentu tidak lepas dari berbagai corak dan ragam pemikiran yang berebut keluar masuk, hingga pada gilirannya turut mewarnai jati diri dan identitas kultur di tubuh NU. Di samping itu, komentar dan gagasan "orang luar" tentang NU, baik berupa tulisan dan berbagai bentuk konsensus intelektual lainnya, juga turut berkontribusi terhadap perubahan warna kultur ini.

· Dakwah dengan Cinta

Penerbit: Mizan Pustaka, Bandung

Peresensi : Mustain*), Penulis : Husain MATLa, Cetakan : Pertama, September 2005, Tebal : 194 halaman

“Tidak penting apakah pendapat anda bagus jika anda tidak menyampaikan dengan cara yang tepat “ (M. Fauzil Adhim

Pada zaman modern, pola kamunikasi antar manusia telah berkembang sedemikian canggih. Zaman modern juga bisa disebut sebagai era kamunikasi, informasi, dan globalisasi. Komunikasi dan informasi ibarat “pedang” bermakna dua yakni bisa dipergunakan untuk hal-hal yang positif maupun negatif.

· Meng-Indonesia-kan Islam

Judul Buku: Islam Universal
Penulis: Prof Dr Nurcholish Madjid, Dkk
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: I, November 2007
Tebal: xii + 342 halaman
Peresensi: Yanuar Arifin*

Dalam perjalanan sejarah Islam Indonesia, perdebatan tentang Islam selalu memberi warna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perdebatan-perdebatan tersebut biasanya bermula dari perbedaan interpretasi terhadap ajaran Islam yang seakan tidak pernah menemukan titik temu. Pada satu sisi, terdapat pemahaman yang memandang Islam sebagai agama yang ajarannya wajib diterapkan secara literal di Indonesia. Sedangkan pada sisi yang lain, juga terdapat pemahaman yang menyatakan bahwa ajaran ke-Islam-an harus berintegrasi dengan ke-Indonesia-an. Pemahaman tersebut seakan selalu berada pada tempat yang saling berseberangan. Pada akhirnya, perbedaan semacam itu, menuntut kita untuk lebih arif dalam memposisikan diri terhadap suatu pemahaman ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an.

· Munajat Ulama Sufi

Judul Buku: Sastra Hizib
Penulis: Murtadho Hadi
Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan: I, Mei 2007
Tebal: xii + 109 halaman
Peresensi: Ach Syaiful A'la*

Seorang penyair seringkali perlu bersusah-payah menemukan sebuah kata untuk sebongkah imajinasinya. Sedangkan, seorang sufi seringkali tak tahu bagaimana bisa serangkaian kata-kata indah mengalir begitu saja dari bibirnya untuk sehamparan realita. Mungkin itu bedanya seseorang yang bekerja dengan imajinasi dan seorang yang menyatu dengan realitas.

· Fikih Sosial Kiai Sahal

Judul Buku: Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren
(Kontribusi Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh dalam Perubahan Nilai-nilai Pesantren)
Penulis: Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd.
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Oktober 2007
Tebal: xi + 405 halaman
Peresensi: Irham Sya’roni *

Identitas pesantren, pada awal perkembangannya, merupakan sebuah institusi pendidikan dan penyiaran agama Islam. Dari sisi sejarah, pesantren tidak hanya mengandung makna ke-Islam-an, tetapi juga keaslian (indegenous) Indonesia. Dari sisi tujuan, pada mulanya, pesantren bertujuan menyiapkan santri menjadi kader-kader ulama dan kiai melalui pendalaman dan penguasaan ilmu agama (tafaqquh fiddin). Selain itu, juga sebagai lembaga dakwah dan benteng pertahanan umat di bidang ahlak.

· Nasionalisme Berbasis Plural

Penulis: KH Ali Maschan Moesa
Judul Buku: Nasionalisme Kiai; Konstruksi Nasionalisme Berbasis Agama
Cetakan I: November, 2007
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Tebal: xxii + 358 Halaman
*
*Peresensi: Heppy Ikmal

Ali Maschan Moesa, sosok yang satu ini, hadir sebagai tokoh dengn tipologi moderat. Dari berbagai pemikirannya, baik tulisan dan beberapa pidatonya dalam seminar maupun sebagai dosen, ia lekat dengan pemikiran pluralismenya. Yaitu sebagai upaya memahami perbedaan sebagai sunnatullah, sebagai sesuatu yang sudah ditetapkan dan tidak bisa dihindarkan, dan juga bagaimana membangun kehidupan yang plural menjadi kekuatan yang sinergis. Hal itu juga bisa kita lihat keromantisan dengan seniornya, KH Hasyim Muzadi dalam mengusung Islam Rahmatan Lil Alamin sebagai agama yang dapat memberi kasih sayang kepada seluruh manusia dan alamnya.

· Gembong NU dari Lasem

Judul Buku: Mbah Ma'shum Lasem; The Authorized Biography of KH. Ma'shum Ahmad
Penulis: M. Luthfi Thomafi
Editor: Abdillah Halim
Pengantar: KH. A. Mustofa Bisri
Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan: I, April 2007
Tebal: xxx+ 318 halaman
Peresensi: Noviana Herliyanti

KH. A. Musthofa Bisri (Gus Mus), dalam pengantar buku ini menyebutnya, Lasem pernah memiliki dua "gembong" kiai yang sangat dihormati dan disegani terutama di kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU). Kiai yang dimaksud Gus Mus adalah KH. Ma'shum Ahmad alias Mbah Ma'shum dan KH. Baidhowi Abdul Aziz alias Mbah Baidhowi. Pada masanya, kedua kiai besar dan berpengaruh itu merupakan rujukan, tidak hanya bagi masyarakat dan para kiai lain di wilayah Rembang dan Lasem saja. Bahkan Prof. Dr. KH. Mukti Ali, salah satu santrinya yang menjadi Mentri Agama, ia selalu sowan kepadanya untuk memohon restu dan doanya, agar mendapatkan kesuksesan selama menjalankan tugas dan tanggung-jawab kenegaraannya.

· Dinamika Politik Kenegaraan Islam

Judul Buku: Negara Islam atau Negara Nasional, Pemikiran Fundamentalis vs Lliberalis
Penulis : Ahmad Zakki Fuad
Peresensi: Heppy Ikmal
Penerbit: Jenggala Pustaka Utama, Kediri
Cetakan: Pertama, Juli 2007
Tebal: x + 230 Hal

Wacana ke-khalifahan (negara Islam) akhir-akhir ini semakin marak diperbincangkan, baik dalam lingkup kampus maupun yang berskala internasional. Sebagai klimaksnya, 18 Agustus 2007 lalu, diselenggarakan Konferensi Khilafah Internasional di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.

· Membumikan Pesan Agama Sebagai Etika Sosial-Ekonomi

Judul Buku: Kesalehan Sosial
Penulis: Mohammad Sobary
Penerbit: LKIS, Yogyakarta
Cetakan: I, Agustus 2007
Tebal: xvi + 280 halaman; 12 cm x 18 cm

Oleh: Wasid Mansyur

Sebagai bangsa yang kaya raya, seyogyanya masyarakatnya mengalami proses perkembangan yang baik dalam kehidupan. Namun, realitas berbicara beda, kesenjangan demi kesenjangan terjadi antarindividu. Pusat lebih bisa mengakses perekonomian dan politik, sementara daerah kurang menjadi perhatian secara serius. Para konglomerat juga lebih banyak memperkaya diri, tanpa mempertimbangkan keseimbangan roda perekonomian di wilayah yang digerakkan masyarakat kecil, sehingga pasar tradisional dan masyarakat ter-miskin-an oleh roda laju kekuatan kapital yang sulit tertandingi.

· Mencetak "Agent Of Change" Melalui Pesantren

Peresensi: Heri Kurniawan
Judul Buku: Menggerakkan Tradisi
Penulis: Abdurrahman Wahid
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: I, 2007
Tebal: xxii+275 halaman

Sepanjang pengetahuan yang telah tersebar selama ini di kalangan akademisi, aktivis, intelektualis, sepertinya hanyalah mahasiswa yang 'paling pantas' diposisikan sebagai penyandang gelar istilah agent of change (agen perubahan). Padahal, potensi besar seperti itu pun dimiliki oleh lembaga pendidikan non-formal, seperti halnya pesantren. Inilah salah satu dampak dari pemerintahan Orde Baru (Orba) dalam upayanya mengaburkan nilai-nilai sejarah perjuangan panjang nenek moyang bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, hanya demi membangun doktrin sejarah bahwa, perjuangan politik mencapai kemerdekaan tidak lebih dari perjuangan bersenjata. Padahal, kita tahu, pasukan tentara baru terbentuk setelah bangsa ini diorganisasikan dalam Republik.

· Merayakan Pendidikan Berbasis Multikultural

Judul Buku: Pendidikan Multikultural
Penulis: Chairul Mahfud
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: II, 2007
Tebal: xxvii + 294 Halaman
Peresensi: Ach Syaiful A'la*

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang demokratis. Meski demokrasi itu sempat terkurung dan dikebiri masa Orde Baru. Hak-hak warga negara selama 32 tahun disumbat dan dikekang oleh pemerintah. Setelah arus “reformasi” (public sphere) bergulir, yang lebih bertendensi pada kebebasan rakyat ibarat air—meminjam istilah Nurkholish Madjid—yang semula tersumbat kemudian dibuka, air keras kontan menyerobot keluar.

· Mengawal Kiai dalam Percaturan Partai Politik

Judul Buku : Peran Kiai Pesantren dalam Partai Politik
Penulis : Dr. H. Achmad Patoni, M.Ag
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I Agustus 2007
Tebal : XVI + 212 Halaman
Peresensi : Sungatno*

Dewasa ini, walaupun pemilihan calon presiden (capres) dan Wakil Presiden (cawapres) masih lama, sekitar bulan Juli 2009, banyak diantara para petinggi-petinggi pengurus partai politik (parpol) yang secara tidak langsung mencuri start untuk berkampanye mensosialisasikan atau memantapkan visi dan misi parpolnya kepada massa pendukung atau calon pendukung suatu parpol.

· Mengurai Benang Merah Tradisi Ziarah Wali

Judul : Ziarah Wali; Wisata Spiritual Sepanjang Masa
Penulis : Ruslan dan Arifin Suryo Nugroho
Penerbit : Pustaka Timur, Yogyakarta
Cetakan I : September 2007
Tebal : 138 halaman
Peresensi : Lukman Santoso Az

Membludaknya jumlah peziarah ke makam wali dari tahun ke tahun, terutama ketika hari-hari tertentu, merupakan fenomena kehidupan yang unik sekaligus menarik untuk dicermati. Di tengah gempita dan glamournya modernitas, tradisi ‘wisata spiritual’ ini seakan menjadi seremonial tersendiri yang masih menjadi ritual yang sakral dan suci dalam perjalanan keberagamaan umat.

· Fikih Sufistik dalam Kitab Kuning Nusantara

Judul : Manahijul Imdad
Penulis : Syekh Ihsan Dahlan
Tebal : Dua Jilid 1088 halaman
Penerbit : Pesantren Al Ihsan, Jampes Kediri
Tahun : 2006
Peresensi : Abdul Mun’im DZ

Dengan penegasan bahwa tidak ada kerahiban dalam Islam (la rahbaniata fil Islam), maka keberagamaan Islam sangat ditekankan pada fikih atau syariat yang formal. Pada abad berikutnya keberagamaan yang legal formalistik itu kurang memuaskan aspirasi spiritual sebagian ulama. Mereka itu berusaha menerapkan kehidupan beragama yang lebih mengutamakan peningkatan spiritualitas. Toh kehidupan keberagamaan Nabi dan sahabat sendiri penuh dengan kedamaian ruhani, walaupun ada kelompok sufi yang cenderung mengabaikan syariat.

· Anekdot Kaum Sarungan

Judul Buku: Humor Ngaji Kaum Santri
Penulis : Hamzah Sahal
Penerbit: Pustaka Pesantren
Cetakan: II, 2007
Tebal: xviii + 110 halaman
Peresensi: Ach Syaiful Khalil*

Seperti diakui banyak orang, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang ketat dan sarat dengan aneka ragam peraturan. Peraturan yang ada tetap dilanggar dan tidak membuat disiplin para santri. Mungkin hal itu sudah menjadi watak dari manusia. Sehingga tidak berlebihan apabila orang mengatakan bahwa pesantren adalah “penjara suci”.

· Mentradisikan Teknologi

Judul Buku: Teknologi Sebagai Tradisi; Refleksi Pengalaman 4 Tahun NU Online
Pengantar: KH Hasyim Muzadi
Penulis: Abdul Mun’im DZ
Penerbit: NU Online, Jakarta
Cetakan: I, Agustus 2007
Tebal: 56 Halaman
Peresensi: Ach Syaiful A’la*


Nahdlatul Ulama—biasa disingkat NU—artinya adalah ”Kebangkitan Ulama”. Sebuah organisasi keagamaan kemasyarakatan (jam'iyah diniyah ijtima'iyah) yang didirikan para ulama, 31 Januari 1926 M/16 Rajab H di Surabaya.

· Meneladani Jejak KH. Hamim Jazuli

Judul Buku: Perjalanan dan Ajaran Gus Miek
Penulis: Muhammad Nurul Ibad
Editor: Fahruddin Nasrullah & A. Muhaimin Azzet
Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan: I, Februari 2007
Tebal: xx + 336 halaman
Peresensi: Noviana Herliyanti*

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam sebuah tulisannya mengatakan, istilah kiai, gus, bindere, dan ajengan adalah sebutan yang semula diperuntukkan bagi para ulama tradisional di pulau Jawa, walaupun sekarang kiai sudah digunakan secara generik bagi semua ulama, baik tradisional maupun modernis, baik yang ada di pulau Jawa maupun di luar Jawa.

· Hikmah Isra Mi’raj Nabi SAW

Judul : Kisah & Hikmah Mikraj Rasulullah
Penulis : Imam al-Qusyairi
Penerjemah : Dr. Abad Badruzaman, Lc
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan : Pertama 2007
Tebal : 187 halaman
Peresensi : Lukman Santoso Az*

Momentum Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsa di Palestina kemudian naik ke Sidratul Muntaha adalah peristiwa yang sangat fenomenal dalam sejarah umat Islam. Mengapa demikian? Karena dari peristiwa inilah Nabi Muhammad SAW memperoleh perintah ibadah wajib, yakni sholat lima waktu yang langsung dari Allah SWT.

· Menggali Fiqih Bernuansa Sosial

Judul Buku : Nuansa Fiqih Sosial, Penulis : KH. MA. Sahal Mahfudh, Penerbit : LKiS Jogjakarta, Cetakan : VI, Maret 2007, Tebal : viii + 384 Halaman, Peresensi : Titik Suryani*

KH. MA. Sahal Mahfudh (Rais Aam PBNU) adalah seorang pakar fiqih (hukum Islam). Kepiawaiannya dalam bidang hukum Islam itu tidak diragukan lagi. Sejak belia, ia seakan sudah terprogram untuk menguasai ilmu ushul fiqih, bahasa Arab, dan ilmu kemasyarakatan.

· Judul Buku : Dunia Mistik Orang Jawa (Roh, Ritual, Benda Magis)

Penulis : Capt. R.P. Suyono, Penerbit : LKiS Yogyakarta, Cetakan : I, Mei 2007, Tebal : vii + 280 halaman, Peresensi : M. Husnaini*

Sejarah adalah tapak yang seringkali harus ditengok karena dari situ kita dapat menengarai pola yang sama dari peristiwa yang berlainan dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda. Sejarah mengajak kita untuk menyadari bahwa pada akhirnya setiap peristiwa dapat tersimpan dalam benak masyarakatnya dan menjadi, tidak saja living memories, tetapi juga living traditions yang melintasi batas ruang dan waktu melalui penuturan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sejarah juga merupakan serpihan kebenaran dan pengetahuan berserakan yang kemudian dikumpulkan, ditata ulang agar lebih bermakna dan dapat dinikmati generasi sesudahnya.

· Kekerasan Agama di Tanah Batak

Judul Buku: Tuanku Rao
Penulis: Mangaradja Onggang Parlindungan
Penerbit: LKiS Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2007
Tebal: iv + 691 halaman
Peresensi: M. Husnaini*

Memperbincangkan sejarah, serasa tidak akan pernah sampai pada puncak kebenaran. Semua serba nisbi, relatif. Sebab, sejarah erat kaitannya dengan serpihan-serpihan kebenaran dan pengetahuan masa lalu, yang supaya bermakna perlu ditata dan ditafsirkan ulang. Jadi, sejarah (hanya) merupakan tafsir. Dan sebuah tafsir bukanlah segumpal kebenaran mutlak. Ia baru upaya untuk mendekati sebuah kebenaran. Itulah mengapa Friederich Nietzsche, filsuf berkebangsaan Jerman, pernah menyatakan, tidak ada fakta dalam masalah kebenaran dan pengetahuan, yang ada hanyalah tafsir. Tampaknya ungkapan itu juga sesuai untuk sejarah.

Reaktualisasi Lembaga Perekonomian Islam
23/03/2009

Judul Buku: Manajemen Syari’ah; Implementasi TQM dalam Lembaga Keuangan Syari’ah
Penulis: Kuat Ismanto, SHI MAg
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Februari 2009
Tebal: 320 halaman
Peresensi: Miftahul A’la*

Krisis global yang melanda dunia hingga sampai saat sangat terasa sekali dampaknya, terlebih dalam sektor perekonomi yang merupakan jantung peradaban kehidupan manusia. Negara-negara dunia terlebih negara yang sedang berkembang semacam Indonesia dan negara-negara Islam kalang kabut menyambut dampak krisis ekonomi glabal yang melanda dunia. Indonesia sendiri misalnya, menerima dampak yang paling serius, hingga menyebabkan keuangan negara semakin mengalami devisit dan menyebabkan semakin melunjaknya harga-harga bahan pokok serta semakin meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan.

· Pancasila sebagai Nuqthotul Liqo’

Judul Buku: “Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa”
Penulis: As’ad Said Ali
Pengantar: KH A. Mustofa Bisri
Penerbit: LP3ES Jakarta
Cetakan: I, Februari 2009
Tebal: 340 halaman + xxxii
Peresensi: A. Khoirul Anam

Pada saat era reformasi “dibunyikan” sebagian elemen bangsa ini masih trauma dengan Pancasila. Praktis pada masa Orde Baru Pancasila hanya menjadi milik pemerintah. Rakyat tidak diperkenankan memberikan interpretasi terhadap Pancasila. Anak-anak sekolah diwajibkan mengikuti penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai interpretasi tunggal Pancasila. Semua organisasi dan partai politik diharuskan mencantumkan Pancasila sebagai asas, namun tidak diperkenankan menjelaskan apapun tentang Pancasila. Yang miris, Pancasila menjadi alat untuk membungkam orang-orang yang kritis; yang berbeda dengan pemerintah dianggap tidak pancasilais.

· Mengurai Hubungan Islam dengan Masalah Kenegaraan

Judul Buku: Mengindonesiakan Islam
Penulis: Dr Mujiburrahman
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: I, Desember 2008
Tebal: 438 Halaman
Peresensi: Puji Hartanto

Keseluruhan gagasan yang terkandung dalam buku berjudul Mengindonesiakan Islam yang ditulis Mujiburrahman ini adalah bahwa umat Islam sebagai penghuni mayoritas bangsa yang multiagama, multi etnis, dan multi ideologis ini perlu menghayati ajaran Islam. Tujuannya mendorong terciptanya persatuan dan perekat bagi bangsa Indonesia yang tengah menghadapi ancaman disintegrasi. Mujiburrahman sesungguhnya ingin menyeru kepada kita bahwa kenyataan pluralistik mengenai politik Islam di Indonesia harus diterima dengan lapang dada, terutama jika kita mengakui bahwa ajaran Islam, termasuk politik, bersifat multitafsir.

· Fatwa untuk Kopi dan Rokok

Judul buku: Kitab Kopi dan Rokok
Penulis: Syaikh Ihsan Jampes
Penerbit: Pustaka Pesantren Yogyakarta
Cetakan: 1, Februari 2009
Tebal: xxv + 110 halaman
Peresensi: Muhammadun AS

Salah satu hasil konsensus Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (KF-MUI) di Padang Panjang, Sumatera Barat, akhir Januari 2009 lalu adalah fatwa tentang hukum haramnya merokok bagi anak-anak, wanita hamil, dan pengurus MUI sendiri. Pro-kontra menyelimuti fatwa kontriversial tersebut, terlebih daerah yang menjadi tempat tembakau berkembang biak dan tempat di mana perusahan rokok berdiri.

· Pentingnya Belajar Ilmu Tauhid

Judul: Aqidah Ahlusunnah Waljamaah; Terjemah & Syarh Aqidah al-Awam
Penulis: KH Muhyidin Abdushomad
Pengantar: KH Agoes Ali Ali Masyhuri
Penerbit: Khalista, Surabaya
Cetakan: I, Januari 2009
Tebal: 72 halaman
Peresensi: Noviana Herliyanti

Beberapa hari lalu, Islamic Center, Cirebon, Jawa Barat, memberikan sebuah pernyataan bahwa acara peringatan Haul Sayyidina Husein atau peringatan hari wafatnya Cucu Nabi Muhammad telah bertentangan dengan akidah umat Islam. Padahal, tradisi seperti ini, telah menjadi bagian amaliah umat Islam Indonesia khususnya warga Nahdlatul Ulama (NU). Tahlil, istighosah, haul (peringatan wafat), pembacaan Maulid diba’ dan barzanji merupakan hal yang dianjurkan ulama Ahlussunnah wal Jamaah. Karena amaliah ini, telah mengandung nilai-nilai kebaikan guna untuk mendekatkan diri pada Allah dan menanamkan nilai-nilai kecintaan kepada Nabi Muhammad.

· Menjelajahi Sisi Lain Keteladanan Kiai As’ad

Judul Buku: Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat
Editor: Syamsul A. Hasan
Penerbit: Pustaka Pesantren-LKIS, BP2M PP Salafiyah Syafiiyah
Cetakan: Ketiga, 2008
Tebal: xxxi + 214 halaman
Peresensi: Mashudi Umar

Di deretan ulama-ulama besar di Indonesia, nama Kiai As’ad tentu bukanlah nama yang asing. Ia merupakan mediator berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) dan salah seorang inspirator penerimaan asas Pancasila di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, yang ia pimpin.

· Kerancuan Pemikiran Cak Nur

Judul: Sekularisasi; Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid
Penulis: Prof Dr H Faisal Ismail, MA
Penerbit: Nawesea Press, Yogyakarta
Cetakan I: Desember, 2008
Tebal: 252 halaman
Peresensi: Lukman Santoso Az

Di Indonesia, gerakan pembaruan Islam telah tumbuh sebelum kemerdekaan, terutama pada era 1920-an. Gerakan ini ditandai dengan upaya pemurnian kembali ajaran Islam pada sumber utama, yakni Al Quran dan Hadits. Tokoh-tokoh gerakan ini, antara lain KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta, Haji Rasul di Minangkabau, dan A. Hassan di Bandung.

· Einstein versus Taurat dan Injil

Judul Buku: Einstein Membantah Taurat dan Injil
Penulis: Wisnu Arya Wardhana
Penerbit: Putaka Pelajar
Cetakan: I, November 2008
Tebal: xxxiv + 258
Peresensi: Sulistiyo Eko

Agama adalah suatu kepasrahan dan penyerahan diri manusia kepada kekuatan yang Maha Tinggi yang dipercayai mengatur dan mengendalikan kehidupan umat manusia dan ala semesta ini. (J.G. Frazer)

· Gus Mus Bicara Nasib Rakyat

Judul Buku: Kompensasi
Penulis: A. Mustofa Bisri
Penerbit: Mata Air Publishing
Cetakan: Februari 2008
Tebal: x+ 312 halaman
Peresensi: Ahmad Shiddiq Rokib

Dalam motto buku ini tertulis, “Mungkin akan jumpai empat macam orang; orang tahu dan tahu bahwa dia tahu, bertanyalah kepadanya; Orang yang tahu dan tidak tahu bahwa dia tahu, ingatkanlah dia; Orang yang tidak tahu dan tahu bahwa dia tidak tahu, ajarilah dia; orang yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu, tinggalkanlah dia”. Bisa dikata mencerminkan kegelisan KH Mustofa Bisri atau Gus Mus pada realitas sosial.

· Menyelami Samudera Kearifan Para Kiai

Judul Buku: Karomah Para Kiai
Penulis: Samsul Munir Amin
Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan: I, November 2008
Tebal: xx + 348 halaman
Peresensi: Imam Musthafa

Karomah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti keramat, suatu pristiwa yang sulit diterima oleh daya pikiran manusia pada umumnya. Karomah banyak dijumpai dalam literatur keagamaan, termasuk dalam berbagai literatur agama Islam. Dalam Al Quran tidak sedikit ayat yang mengisahkan kejadian atau pristiwa yang sulit dicerna akal pikiran. Di antaranya, seperti kisah Ashabul Kahfi, sekolompok pemuda yang yang tertidur sampai ratusan tahun dalam gua dan kisah Maryam sebagai perempuan suci yang melahirkan Nabi Isa tanpa ayah, serta kisah-kisah yang berbau karomah lainnya.

· Bercermin dari Kiai Blambangan

Judul Buku: Tiga Kiai Khos
Penulis: Ainur Rofiq Sayyid Ahmad
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: I, September 2008
Tebal: xiii+154 Halaman
Peresensi: A. Syaiful A'la

Saat konflik di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pecah, muncullah istilah yang dicetuskan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan nama kiai khos dan kiai kampung. Buku yang ditulis Ainur Rofiq Sayyid Ahmad bukan berarti untuk membedakan antara kiai khos dan kiai kampung. Tetapi yang dimaksud penulis adalah untuk menjelaskan kepada publik, mana kiai yang harus menyandang gelar warasatul al-anbiya’ (pewaris nabi)? Karena banyak kiai di beberapa daerah sekarang ini yang tidak mencerminkan sebagai pewaris nabi ketika terjun dalam politik praktis. Yang seharusnya menjadi kiai khos berubah menjadi kiai “kaos”, kiai kampong—seorang kiai yang bersentuhan langsung dengan masyarakat—malah menjadi kiai “kampungan” yang selalu membodohi masyarakatnya.

· Pesan ‘Spritual’ Pangeran Sufi

Judul Buku: Mutiara Agung Pangeran Sufi Al-Junaid Al-Bagdhady
Penulis: KH Moh. Lukman Hakim, MA
Penerbit: Cahaya Sufi, Jakarta
Cetakan: Pertama 2008
Tebal: (xix + 317) halaman
Peresensi: Mashudi Umar

Tasawuf sesungguhnya bukan sesuatu penyikapan yang pasif atau apatis terhadap kenyataan sosial. Sebaliknya, seperti diteguhkan Dr Abu Al-Alaf Afifi dalam studinya tentang tasawuf Islam klasik, tasawuf berperan besar dalam mewujudkan sebuah revolusi moral spritual dalam masyarakat. Dan, bukankah moral spritual ini merupakan ethical basic atau al-asisayatu-akhlaqiyah bagi suatu formulasi sosial seperti dunia pendidikan?

· Keadilan bagi Bangsa Iran

Judul Buku: Ahmadinejad Menggugat; Republik Islam Iran Mematahkan Arogansi Amerika dan Israel
Penulis: Dr Mahmud Ahmadinejad
Penerbit: Zahra, Jakarta
Cetakan: I, September 2008
Tebal: 346 halaman
Peresensi: Fikrul Umam M.S.

Saat ini pemerintah negara-negara Barat yang dimotori Presiden Amerika Serikat (AS), George W. Bush, begitu memusuhi Iran dan Presidennya, Mahmud Ahmadinejad. Berbagai isu dikembangkan untuk menyudutkan Iran dan Ahmadinejad, mulai dari isu terorisme sampai isu senjata nuklir. Faktanya, semua itu hanyalah akal-akalan Zionis Israel dan Amerika untuk melancarkan rencana busuk mereka yang hendak mendirikan Israel Raya yang membentang dari sungai Nil (mesir) hingga ke sungai Furat (Irak).

· Pergolakan Domestik dalam Politik Luar Negeri

Judul Buku: Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik
Penulis: Ganewati Wuryandari dkk
Penerbit: Pustak Pelajar,Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Agustus 2008
Tebal: 265 halaman
Peresensi: Suyadi Muhammad

Politik Indonesia merekam secara jelas dari kepemimpinan Soekarno hingga Susilo Bambang Yuudhoyono mengalami lika-liku pergolakan, baik pergolakan pada politik dalam negeri maupun luar negeri. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa pergolakan ini terpengaruhi dua zaman, yakni Orde Lama (Orla) dan masa Orde Baru (Orba). Kedua masa ini pula sebagai penentu perkembangan politik negara Indonesia di masa selanjutnya.

· NU Progresif Menembus Batas Tradisi

Judul Buku: Post Tradisionalisme Islam; Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU
Penulis: Rumadi
Pengantar: KH Abdurrahman Wahid
Penerbit: Fahmina Institute
Cetakan: Pertama, 2008
Tebal: xx + 382 halaman
Peresensi: Mashudi Umar

Nahdlatul Ulama (NU) selalu menjadi inspirasi bagi gerakan dan pemikiran ke-Islam-an yang berwawasan kebangsaan, respons terhadap perubahan dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal Nusantara. NU selalu memosisikan diri sebagai ‘jangkar’ Nusantara, terutama yang digalang kader-kader mudanya.

· Mengenal Ahli Hisab-Rukyat

Judul Buku: Ensiklopedi Hisab Rukyat
Penulis: Dr Susiknan Azhari MA
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Edisi Revisi: Mei, 2008
Tebal: xvi + 452 halaman
Peresensi: Sungatno

Dalam Islam, ilmu falak (astronomi) memiliki peran penting. Selain berperan dalam ranah pembagian waktu secara Islami, ilmu ini juga mampu menentukan arah seseorang dalam menghadap sesuatu secara tepat, mengukur panjang, tinggi, kedalaman dan masih banyak lagi.

Di negeri yang terdapat pemeluk Islam-nya paling banyak di dunia ini, misal, minimal dalam setiap menjelang awal dan akhir Ramadhan, terasa jelas apa arti dan peran ilmu itu. Meski ada suatu dalil yang menganjurkan umat Islam untuk menggunakan metode rukyat (pengamatan terhadap bulan) pada situasi dan kondisi tertentu, tapi ada juga dalil yang menganjurkan metode hisab (perhitungan astronomis) dalam situasi dan kondisi tertentu pula.

· NU dan Pesantren dalam Gelombang Perubahan

Judul Buku: Islam tradisional, Realitas Sosial & Realitas Politik
Penulis: Dr Ali Maschan Moesa
Penerbit: Jenggala Pustaka Utama
Cetakan: I, September 2008
Tebal: vii, 199 hlm.
Peresensi: Ahmad Shiddiq Rokib

Khittah NU 1926 yang diputuskan pada Muktamar di Situbondo, Jawa Timur, adalah upaya ulama untuk memosisikan NU pada jalan yang benar dalam relasi negara dan agama. Meski pada pra-wacana, bersinggungan dengan situasi politik di tubuh NU yang kurang menguntungkan dan selalu dinomerduakan dalam pengambilan keputusan strategis. Sehingga wajar kalau politik yang dimainkan selalu berubah-ubah wajah dari satu ideologi ke ideologi lain, puncaknya ditandai keputusan NU kembali Khittah pada Muktamar Situbundo.

· Radikalisme Islam di Indonesia

Judul Buku: Geneologi Islam Radikal di Indonesia
Penulis: M. Zaki Mubarak
Penerbit: LP3ES, Jakarta
Cetakan: 2008
Tebal: xxxvii + 384 halaman
Peresensi: Muhamad Ismaiel

Mohammed Arkoun (1999) melihat fundamentalisme Islam sebagai dua tarikan berseberangan, yakni, masalah ideologisasi dan politis. Dan, Islam selalu akan berada di tengahnya. Manusia tidak selalu paham sungguh akan perkara itu. Bahwa fundamentalisme secara serampangan dipahami bagian substansi ajaran Islam. Sementara fenomena politik dan ideologi terabaikan. Memahami Islam merupakan aktivitas kesadaran yang meliputi konteks sejarah, sosial dan politik.

· Menggagas Tasawuf Kultural di Indonesia

Judul: Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidyah
Penulis: Sokhi Huda
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: I, Juli 2008
Tebal: xxviii + 372 halaman
Peresensi: Akhmad Kusairi

Dampak modernitas terhadap sendi-sendi kehidupan memang hampir mendekati sempurna. Harus diakui hampir segala dimensi kehidupan sudah dimasuki modernitas, termasuk agama. Di tengah kondisi demikian, banyak orang beranggapan bahwa Tuhan tak lagi dibutuhkan mengingat segala macam keperluan manusia sudah disediakan di dalam kehidupan modern. Namun, benarkah demikian? Tumbuh suburnya majelis-majelis pengajian tasawuf mana merupakan bukti bahwa hal itu tidaklah benar. Dengan kata lain, masyarakat merasa terbelenggu kecenderungan materialisme. Mereka membutuhkan sesuatu yang dapat menenteramkan jiwanya serta memulihkan kepercayaan mereka yang nyaris punah karena dorongan kehidupan materialis-konsumtif. Salah satunya adalah tasawuf.